Liputan6.com, Pyongyang - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menuduh Amerika Serikat bertindak dengan "iktikad buruk" selama pertemuan puncak awal tahun ini dengan Presiden Donald Trump, menurut Kantor Berita Pusat Korea (KCNA).
Dia juga mengatakan, perdamaian di semenanjung Korea hanya sepenuhnya bergantung pada Washington.
Baca Juga
Kim Jong-un membuat pernyataan itu pada pertemuan puncak, Kamis 25 April 2019 dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Vladivostok.
Advertisement
Kim Jong-un dikabarkan mengatakan kepada Vladimir Putin bahwa "situasi di Semenanjung Korea dan wilayah itu sekarang terhenti dan telah mencapai titik kritis".
Dia memperingatkan situasi "dapat kembali ke keadaan semula karena AS mengambil sikap sepihak dengan iktikad buruk" selama pembicaraan baru-baru ini, demikian seperti dilansir BBC, Jumat (26/4/2019).
Itu terjadi seminggu setelah Pyongyang menuduh AS menggagalkan pembicaraan damai.
Negosiasi antara kedua negara gagal selama pertemuan puncak di Vietnam pada bulan Februari, dengan tidak ada kesepakatan mengenai senjata nuklir Korea Utara.
Pembicaraan itu dilaporkan terhenti karena permintaan Korea Utara untuk pencabutan penuh sanksi ekonomi AS sebagai imbalan atas beberapa komitmen denuklirisasi. Kesepakatan itu tidak disetujui oleh Washington.
Selama KTT pada Kamis di Vladivostok, Presiden Putin berusaha untuk bertindak sebagai wasit, dengan mengatakan Kim memerlukan jaminan keamanan internasional jika dia ingin mengakhiri program nuklirnya.
Jaminan semacam itu perlu ditawarkan dalam kerangka kerja multinasional, tambah pemimpin Rusia itu.
"Kita perlu ... kembali ke negara di mana hukum internasional, bukan hukum yang terkuat, menentukan situasi di dunia," kata Putin.
Terkait informasi lain, Presiden Putin jugaa menerima undangan untuk mengunjungi Korea Utara, lapor KCNA.
Kunjungan itu akan berlangsung "pada waktu yang tepat," kantor berita Korea Utara tersebut menambahkan.
Pertemuan Bersejarah
Kim Jong-un memuji KTT dengan Vladimir Putin sebagai "pertukaran tatap muka yang sangat berarti," dan mengatakan dia berharap untuk mengantarkan "masa kejayaan baru" antara Moskow dan Pyongyang.
Tidak ada yang dilaporkan secara publik tentang perjanjian seputar sanksi AS dan senjata nuklir Korea Utara.
Putin kini telah menghadiri pertemuan puncak dua hari di China, di mana ia mengatakan akan menginformasikan kepemimpinan China tentang perundingan. Dia juga mengatakan dia bersedia untuk berbagi rincian dengan AS.
Menurut juru bicara kepresidenan Rusia Dmitry Peskov, Kremlin percaya bahwa perundingan enam negara mengenai Korea Utara adalah satu-satunya cara yang efisien untuk menangani senjata nuklir di semenanjung itu.
Perundingan enam negara tentang Korea Utara, yang dimulai pada tahun 2003, melibatkan dua Korea serta China, Jepang, Rusia dan AS. Namun mereka saat ini mandek.
"Tidak ada mekanisme internasional lain yang efisien saat ini," kata Peskov kepada wartawan, Rabu 24 April 2019.
"Tapi, di sisi lain, upaya sedang dilakukan oleh negara-negara lain. Di sini semua upaya pantas mendapat dukungan selama mereka benar-benar bertujuan untuk de-nuklirisasi dan menyelesaikan masalah kedua Korea."
Advertisement
Apa yang Diinginkan Masing-Masing Pihak?
Kunjungan Kim Jong-un ke Rusia secara luas dipandang sebagai peluang bagi Korea Utara untuk menunjukkan bahwa ia memiliki sekutu yang kuat setelah gagalnya pembicaraan dengan AS.
Negara itu menyalahkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo atas runtuhnya KTT Hanoi. Awal bulan ini Korea Utara menuntut agar Pompeo dicopot dari perundingan nuklir, menuduhnya "berbicara omong kosong" dan meminta seseorang "yang lebih hati-hati" untuk menggantikannya.
KTT itu juga merupakan kesempatan bagi Pyongyang untuk menunjukkan bahwa masa depan ekonominya tidak hanya bergantung pada AS, dan bagi Rusia untuk menunjukkan bahwa itu adalah pemain penting di Semenanjung Korea.
Presiden Putin sangat ingin bertemu dengan pemimpin Korea Utara untuk beberapa waktu. Namun di tengah dua pertemuan puncak Trump-Kim, Kremlin agak tersingkir.
Rusia, seperti AS dan China, merasa tidak nyaman dengan Korea Utara menjadi negara nuklir.
Selama Perang Dingin, Uni Soviet (di mana Rusia adalah negara penerus utama) mempertahankan hubungan dekat militer dan perdagangan dengan sekutu komunisnya, Korea Utara, untuk alasan ideologis dan strategis.
Setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, hubungan dagang dengan Rusia pasca-komunis menyusut dan Korea Utara condong ke China sebagai sekutu utamanya.
Di bawah Presiden Putin, Rusia pulih secara ekonomi dan pada tahun 2014 ia menghapus sebagian besar utang era Soviet kepada Korea Utara sebagai isyarat niat baik.
Meskipun dapat diperdebatkan seberapa besar pengaruh Rusia terhadap Korea Utara saat ini, rezim Kim Jong-un menganggap Moskow sebagai salah satu kekuatan asing yang paling tidak bermusuhan.