Liputan6.com, Jakarta - Garam dan lada adalah duet bumbu andalan di seluruh dunia, terutama di meja makan restoran. Keberadaannya selalu berhasil menjadi penyelamat tatkala makanan yang disantap "kurang berkarakter" di lidah.
Namun, pernahkah Anda bertanya mengapa garam dan lada seakan tidak bisa dipisahkan di atas meja makan?
Dikutip dari Gizmodo.com pada Jumat (26/4/2019), garam santap --juga biasa disebut garam meja-- adalah bumbu pilihan sejak berabad-abad lalu. Senyawa bernama ilmiah natrium klorida (NaCl) ini dibutuhkan oleh tubuh manusia sebanyak 3 hingga 8 gram, untuk melakukan berbagai fungsi metabolisme.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, asin pada garam juga merupakan salah satu dari empat jenis cita rasa utama yang dideteksi oleh lidah manusia, di mana sekaligus berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan.
Karena kita membutuhkan garam untuk bertahan hidup, makan bumbu ini telah menjadi komoditas yang bernilai tinggi sepanjang sejarah.
Garam telah membantu membangun peradaban awal, mendorong munculnya kerajaan, dan bahkan telah digunakan sebagai mata uang. Sebagai contoh, tentara Romawi pernah diupah dengan garam.
Sebelum "berkolaborasi" dengan lada, pada awalnya garam kerap dipadukan bersama gula dalam banyak tradisi masyarakat Eropa, mulai dari era Romawi Kuno hingga zaman Renaisans.
Baru pada Abad ke-17, di Prancis, garam dan gula dipisahkan. Para juru masak kerajaan untuk Louis XIV mulai menyajikan hidangan asin sepanjang waktu bersantap, untuk merangsang nafsu makan.
Mereka hanya menyajikan makanan manis pada sesi akhir untuk memuaskan nafsu makan, atau dengan kata lain, menandakan akhir dari santapan tersebut.
Â
Pengganti Lada Panjang
Sementara itu, meski tidak dibutuhkan secara universal seperti garam, namun lada adalah komoditas yang sama bernilainya dalam tradisi kuliner moderen.
Bahkan, dalam sejarah, lada --khususnya lada hitam-- telah menjadi rebutan bagi banyak masyarakat Barat yang berpetualang ke Asia, dan turut mengubah sejarah dunia yang berkaitan dengan perdagangan rempah global.
Lada adalah tanaman asli Asia Tenggara, di mana utamanya ditemukan tumbuh subur di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Pantai Malabar di India. Di seluruh wilayah tersebut, menurut hasil penelitian oleh Departemen Sejarah pada Leiden University, rempah yang identik dengan hentakan pedas ini telah dimanfaatkan secara lokal sejak Abad ke-2 Sebelum Masehi.
Seperti rempah-rempah kuat lainnya, lada secara historis digunakan sebagai bumbu dan obat untuk mengobati berbagai penyakit mulai dari sembelit, hernia, hingga gangguan jantung.
Sebelumnya, masyarakat Romawi Kuno memanfaatkan lada panjang (piper longum) sebagai rempah andalan dalam tradisi kuliner dan pengobatan kelas atas kala itu. Sifatnya yang lebih panas (diakui oleh medis modern) diyakini mampu meningkatkan kejantanan, sehingga populer di kalangan atas setempat.
Namun, karena termasuk langka akibat dari cara bertanamanya yang sulit, kenaikan harga menjadi tidak terkendali. Di saat bersamaan, muncul jenis rempah hampir serupa yang lebih murah dari Timur Jauh (baca: Asia) berjuluk lada hitam.
Dan karena lada hitam lebih banyak tersedia, dan produksinya di Timur Jauh tergolong stabil, maka lambat laun rempah ini mulai mengungguli popularitas lada panjang.
Advertisement
Berjaya di Romawi Kuno
Selama beberapa ratus tahun berikutnya, popularitas lada hitam meroket — sedemikian rupa sehingga ketika Alaric, raja tangguh dari Visigoth, menyabotase Roma pada Abad ke-5, ia menuntut 3.000 pon lada hitam sebagai bagian dari tebusannya.
Bertahun-tahun setelahnya, lada hitam bahkan digunakan sebagai bentuk mata uang dalam beberapa kasus, seperti garam sebelumnya.
Setelah Kekaisaran Romawi jatuh, Persia (dan kemudian kekuatan Arab) mengambil kendali rute ekspor rempah-rempah dari India ke Mediterania, sementara kekuatan Italia memonopoli perdagangan terkait di Eropa.
Ini mengarah langsung pada kebangkitan banyak negara-kota Italia, dan memainkan peran penting dalam kemunculan Renaisans, yakni berkat pendapatan besar yang diperoleh dari perdagangan menguntungkan, yang juga termasuk kayu manis, cengkeh, pala, dan jahe.
Perlu diingat, selama Abad Pertengahan, rempah-rempah adalah barang ultra-mewah yang hanya dibeli oleh orang kaya, yang bersedia menghabiskan banyak uang untuk menghidupkan makanan mereka.
Terlebih lagi, monopoli rempah-rempah di Eropa --baik pasar yang didominasi Italia atau rute perdagangan darat yang dikontrol Muslim-- membuat Portugal tertarik untuk menemukan rute laut ke Timur Jauh, yang mengarah pada penemuan benua Amerika.
Dengan negara-negara yang bersedia mengeluarkan upaya semacam keras dan biaya besar untuk rempah-rempah, tidak heran lada hitam sering disebut sebagai Emas Hitam.
Populer Sejak Era Raja Louis XIV
Popularitas lada hitam sedikit menurun di awal Abad ke-17, menyusul penemuan cabai di Dunia Baru (baca: benua Amerika) dan peningkatan pola makan Eropa yang tidak lagi bubur.
Tapi, pamor lada hitam kembali bangkit setelah era Renaisans. Koki untuk Raja Louis XIV di Prancis adalah sosok yang menempatkan lada hitam pada status saat ini.
Raja Louis XIV adalah sosok yang terkenal pemilih dalam halam makanan yang disantapnya. Dia lebih suka makanannya yang sedikit dibumbui, di mana mencampurkan bumbu yang kuat adalah tabu di era kekuasaannya.
Bahkan, ia melarang langsung penggunaan semua rempah dari Timur Jauh selain garam, merica, dan peterseli, karena dianggap lebih sehat dan indah daripada kapulaga pada sajian kari. Selain itu, hentakan pedas yang ringan pada lada hitam juga dianggap cukup untuk hidangan sang raja, tanpa mempengaruhi terlalu jauh rasa aslinya.
Oleh koki Raja Louis, lada hitam kemudian disandingakn bersama dengan garam, dan ternyata disukai oleh banyak kalangan atas kerajaan. Dari meja eksklusif istana, lambat laun "kombinasi serasi" ini menyebar hingga seluruh Eropa dan Amerika Utara.
Hingga 2918 saja, masyarakat Amerika Serikat diketahui mengonsumsi lebih dari 6,5 juta ton garam meja dan sekitar 27.000 ton lada hitam setiap tahunnya.
Menariknya, meski banyak diproduksi di Asia, namun masyarakat di kawasan ini cukupjarang memanfaatkan lada hitam sebagai bumbu. Mereka lebih senang dengan kecap, saus tiram, sambal, dan lain sebagainya.
Advertisement