Sukses

Perangi 2 Juta Kucing Liar, Australia Beri Imbalan Rp 109 Ribu Per Ekor

Pemerintah Australia mengumumkan perang terhadap sebagian besar kucing liar di negaranya. Apa alasannya?

Liputan6.com, Canberra - Pemerintah Australia dikabarkan telah mendeklarasikan perang terhadap kucing liar, dan menargetkan pada 2020 untuk mengurangi sebagian besar dari total populasiya saat ini, yakni sekitar dua juta ekor. 

Dikutip dari CNN pada Sabtu (27/4/2019), bahkan beberapa negara bagian di sana telah melangkah lebih jauh. Seperti contoh di Queensland, dewan pemerintahan setempat menawarkan hadiah sebesar 10 dolar Australia (setara Rp 109 ribu) per ekor kucing liar yang berhasil ditangkap, sesuatu yang dinilai "sangat kejam" oleh organisasi perlindungan hewan PETA.

Isu ini ternyata tidak hanya jadi perhatian serius pemerintah Australia, melainkan juag Selandia Baru, di mana beberapa pihak mendesak kontrol ketat kucing liar atau ancaman dimusnahkan.

Mungkin Anda bertanya dalam hati, mengapa kucing diperangi di Australia dan Selandia Baru? Jawabannya adalah karena hewan ini dituduh sebagai predator yang membahayakan kelestarian lingkungan setempat.

Menurut sejarah, kucing pertama kali tiba di Australia pada Abad ke-17. Sejak itu, jumlah hewan ini semakin bertambah, dan kini populasinya diperkirakan mencapai 99,8 persen dari total seluruh Kucing pertama diperkirakan telah tiba di Australia di beberapa titik di abad ke-17. Sejak itu, jumlah mereka meningkat dan tersebar di hampir 99,8 persen wilayah Negeri Kanguru.

Meskipun kucing liar termasuk spesies yang sama dengan kucing rumahhan, namun hewan ini hidup di alam liar, di mana mereka dipaksa berburu untuk bertahan hidup.

"Sejak pertama kali diperkenalkan oleh pemukim Eropa, kucing liar telah membantu mengusir sekitar 20 spesies mamalia hingga punah," ujar Gregory Andrews, komisaris nasional spesies terancam kepada Sydney Morning Herald.

Menurut Andrews, itu menjadikan kucing liar sebagai satu-satunya ancaman terbesar bagi spesies asli Australia.

Dan itu penting di Australia, negara benua yang terputus dari seluruh dunia selama ribuan tahun. Saat ini, sekitar 80 persen mamalia lokal dan 45 persen unggasnya adalah endemik, alias tidak ditemukan di alam liar lainnya di Bumi.

Untuk kucing, spesies endemik adalah mangsa yang mudah ditangkap. Kucing diyakini membunuh lebih dari 1 juta burung asli, dan 1,7 juta reptil di seluruh Australia setiap harinya, kata juru bicara Departemen Lingkungan dan Energi Australia, mengutip penelitian ilmiah.

Beberapa spesies endemik yang terancam oleh eksistensi kucing liar adalah kelinci ekor sikat (kini terancam punah), dan beberapa hewan pengerat.

"Kami tidak memusnahkan kucing karena kami membenci kucing," kata Andrews. "Kami harus membuat pilihan untuk menyelamatkan hewan yang kita cintai, dan yang mendefinisikan Australia."

 

2 dari 3 halaman

Menuai Kritik Luas

Pemerintah Australia telah mendeklarasikan perang terhadap kucing liar sejak 2015, di ana menjanjikan bantuan senilai AUD 5 juta (setara Rp 54,5 miliar) untuk mendukung kelompok masyarakat yang dapat menargetkan kucing di garis depan.

Tetapi rencana itu mendapat kecaman, dan yang mengejutkan, para konservasionis adalah di antara para kritikus terdepan.

Tim Doherty, seorang ahli ekologi konservasi dari Deakin University di Australia, sependapat bahwa kucing liar "menargetkan" spesies asli Australia, tetapi percaya pemusnahan tersebut didasarkan pada ilmu pengetahuan yang goyah.

"Kala itu, ketika target ditetapkan pada tahun 2015, kami sebenarnya tidak tahu berapa banyak kucing liar di Australia," katanya, menambahkan bahwa beberapa perkiraan pada saat itu menyebutkan angka 18 juta, yang ia sebut sebagai "perkiraan melebihi nilai kotor".

"Tidak ada cara yang benar-benar dapat diandalkan untuk memperkirakan populasi kucing liar di seluruh benua, dan jika Anda akan menetapkan target, dan jika Anda ingin itu menjadi bermakna, Anda harus dapat mengukur kemajuan Anda ke arah itu," kritik Doherty.

Masalah lain yang lebih mendesak, adalah bahwa membunuh kucing liar tidak segera menyelamatkan nyawa burung atau mamalia.

"Target kucing liar harusnya yang telah tinggal di tempat yang mengancam hewan lokal. Faktanya, kucing-kucing ini tida tinggal di hutan," ungkapnya.

Sementara kucing adalah masalah besar, menurut Andrews, pemerintah Australia cenderung mengorbankan masalah lain yang lebih sensitif secara politis, seperti hilangnya habitat yang disebabkan oleh ekspansi kota, pembalakan, dan penambangan.

Pengkritik penting lainnya dari rencana kontroversial tersebut, di antaranya termasuk penyanyi Inggris Morrissey dan Brigitte Bardot.

3 dari 3 halaman

Tindakan Lebih Tegas di Selandia Baru

Di Selandia Baru, ada seruan pemerintah untuk turut mengendalikan laju populasi kucing domestik.

Bahkan, negara kepulauan tersebut telah mengumumkan kebijakan berani untuk menghapus total populasi predator --termasuk kucing-- pada 2050.

Menurut pemerintah, berbagao predator seperti tikus, possum dan cerpelai masing-masing membunuh 25 juta burung asli Selandia Baru setiap tahunnya.

Selandia Baru tidak memiliki mamalia darat asli selain kelelawar, yang berarti sejumlah besar burung, termasuk Kiwi yang tidak dapat terbang dari negara itu, dapat berkembang di tanah tanpa predator.

Sekarang, 37 persen spesies burung Selandia Baru terancam. Terlebih lagi, banyak burung asli setempat adalah penghuni darat, membuatnya rentan terhadap kucing, lapor Kementerian Konservasi negara tersebut.

Pada 2013, salah seorang ekonom Selandia Baru yang terkenal, Gareth Morgan, memancing kemarahan pecinta kucing --termasuk Perdana Menteri saat itu John Key-- ketika ia meluncurkan kampanye yang disebut "Cats to Go," mendorong pecinta kucing untuk menghindari mengganti hewan peliharaan mereka ketika mati.

"Kucing adalah satu-satunya predator sadis di dunia hewan, pembunuh berantai yang menyiksa tanpa ampun," katanya.

Dua tahun kemudian, Menteri Konservasi saat itu Maggie Barry mendesak pihak berwenang untuk mulai menurunkan populasi kucing liar untuk menyelamatkan populasi burung asli, dan menyerukan kucing peliharaan, yang jumlahnya sekitar 1,134 juta menurut Dewan Hewan Pendamping Selandia Baru, terbatas pada satu atau dua ekor per rumah tangga.

Dan tahun lalu, Omaui, sebuah kota pantai kecil di Pulau Selatan Selandia Baru mempertimbangkan untuk melarang kucing domestik baru di daerah tersebut, meskipun tidak sepenuhnya terealisasi.