Sukses

Respons Krisis Rohingya, Uni Eropa Perpanjang Embargo Senjata ke Myanmar

Uni Eropa telah memperpanjang larangan penjualan senjata ke Myanmar dan memperpanjang sanksi terhadap pejabat tinggi atas peran mereka dalam krisis Rohingya.

Liputan6.com, Brussels - Uni Eropa telah memperpanjang larangan penjualan senjata ke Myanmar dan memperpanjang sanksi terhadap pejabat tinggi atas peran mereka dalam krisis Rohingya.

Langkah-langkah tersebut, yang mencakup embargo peralatan militer lain yang dapat digunakan untuk penindasan, akan tetap berlaku sampai setidaknya 30 April 2020.

"Sanksi tersebut mencakup embargo senjata dan peralatan yang dapat digunakan untuk represi internal; larangan ekspor barang-barang fungsi ganda yang bisa digunakan oleh militer dan polisi penjaga perbatasan; dan pembatasan ekspor pada peralatan untuk memantau komunikasi yang mungkin digunakan untuk represi internal," kata Uni Eropa dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Jazeera, Selasa (30/4/2019).

Sekitar 14 pejabat tinggi militer dan keamanan perbatasan Myanmar juga tetap berada di bawah sanksi individu Uni Eropa. Penjatuhan sanksi dilakukan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan dan kekerasan seksual terkait krisis Rohingya.

Sanksi itu melarang mereka melakukan perjalanan ke atau melalui blok Eropa, serta membekukan aset apa pun yang mereka miliki di Benua Biru.

Uni Eropa juga mengingatkan bahwa pihaknya telah mengadopsi kesimpulan tentang Myanmar pada Desember 2018 dan meminta Naypyidaw untuk mengambil "tindakan yang berarti" tanpa penundaan lebih lanjut dan untuk membuat kemajuan di semua bidang yang dikemukakan dalam kesimpulan dewan sebelumnya pada Februari 2018.

Organisasi multilateral Eropa itu juga menolak untuk bekerja sama dengan, atau memberikan pelatihan kepada, militer Myanmar menyusul krisis Rohingya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Sekilas Krisis Kemanusiaan Rohingya

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat akan serangan sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.

Krisis memuncak pada Agustus 2017, ketika hampir 750.000 pengungsi Rohingya melarikan diri dari penumpasan militer di Myanmar utara untuk menyeberang ke Bangladesh, tempat 300.000 anggota minoritas Muslim yang teraniaya sudah berada di kamp-kamp.

Banyak pengungsi Rohingya mengatakan telah terjadi perkosaan massal dan pembantaian, dan para pejabat PBB mengatakan tindakan keras itu membutuhkan penyelidikan dugaan genosida.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan Myanmar, menurut sebuah laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA).

Lebih dari 34.000 orang Rohingya dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, kata laporan itu, yang berjudul "Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience".

Sekitar 18.000 perempuan dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak, tambahnya.

PBB juga telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan --termasuk bayi dan anak kecil-- dan pemukulan brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar.

Dalam sebuah laporan, penyelidik PBB mengatakan pelanggaran seperti itu mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan niat genosida.