Liputan6.com, Canberra - Seorang mantan jurnalis di Canberra, Australia, ingin memancing penganut agama Kristen ke rumahnya dan memerangi mereka sebagai pembalasan atas teror penembakan masjid di Christchurch.
Demikian yang terungkap dalam persidangan terdakwa James Michael Waugh (28) di pengadilan setempat pada Selasa 30 April 2019, seperti dilansir ABC Indonesia (30/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Terdakwa ditangkap polisi Australia awal bulan April 2019 dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan mengancam keselamatan masyarakat, mengancam orang lain serta memiliki senjata untuk membunuh.
Mantan jurnalis Queanbeyan Age itu dalam persidangan mengajukan permohonan tahanan luar namun ditolak oleh hakim.
Jaksa Rae-ann Khazma dalam persidangan menyatakan sejak penangkapan terdakwa, semakin banyak informasi yang muncul terkait kasus ini.
Khazma menjelaskan bahwa terdakwa telah menemui dokter dalam tahanan dan menyampaikan "niatnya untuk memancing calon korban ke rumahnya" sebagai tindakan balasan atas apa yang terjadi di Christchurch.
"Dia jelas-jelas menyatakan ingin berperang, menjadikan dirinya seorang martir atau menjadikan lawannya tampak buruk," jelasnya.
"Terdakwa juga menyatakan penggunaan pedang tergantung pada berapa banyak orang Kristen yang datang dan apakah mereka bersenjata," kata jaksa Khazma.
Tak Punya Gangguan Kejiawaan
Terdakwa yang tak pernah mengalami penyakit kejiwaan ini, kata jaksa, juga tidak mengakui keabsahan pemerintah Australia serta percaya bahwa hukum negara ini tidak berlaku atas dirinya.
Jaksa Khazma menyebutkan bahwa terdakwa Waugh berniat meninggalkan Canberra untuk mempersiapkan "Hari Pembalasan" dengan cara mendatangi pedalaman Queensland bersama saudaranya.
Pemeriksaan komputer milik terdakwa, katanya, menunjukkan adanya pencarian online lokasi-lokasi di Queensland dan Australia Tengah.
Menurut jaksa, berdasarkan informasi ini maka terdakwa tidak boleh mendapatkan status tahanan luar dan harus tetap berada di wilayah hukum Canberra.
Namun pengacara terdakwa Helen Hayunga berdalih permohonan kliennya untuk tahanan luar harus dikabulkan karena tidak ada bukti bahwa dia akan mewujudkan ancamannya.
"Berbeda antara melontarkan ancaman dan bertindak melaksanakan ancaman itu," katanya.
"Kesulitan tuntutan ini yaitu tidak adanya bukti bahwa terdakwa akan melaksanakan ancamannya," ujar Hayunga.
"Selain kepemilikan senjata," tukas hakim Peter Morrison menimpali pengacara terdakwa.
Menurut Hayunga, tidak ada bukti bahwa kliennya melakukan kontak dengan penjahat, tidak ada bukti bahwa dia telah bertindak memancing orang ke rumahnya, serta polisi juga sudah menyita telepon dan komputer terdakwa.
"Dia tentu saja akan memiliki akses internet yang sangat terbatas jika dibebaskan bersyarat," katanya.
Terdakwa tetap ditahan menunggu persidangan selanjutnya pada bulan Mei.
Advertisement
Paket Diduga Bom Ditemukan di Christchurch, 1 Orang Ditangkap
Sementara itu pada kabar lain, Kepolisian Selandia Baru menemukan paket berisi alat peledak di sebuah bangunan kosong di Kota Christchurch, tempat 50 orang tewas akibat penembakan pada 15 Maret lalu.
"Polisi telah menemukan paket yang diduga berisi alat peledak dan amunisi di sebuah tempat kosong ... di Christchurch," kata komandan polisi distrik Inspektur John Price, dalam sebuah pernyataan dikutip dari Channel News Asia, Selasa (30/4/2019).
Paket itu kemudian berhasil diamankan, dengan seorang pria warga Christchurch, Selandia Baruberusia 33 tahun telah diringkus.
Keberhasilan itu didapat berkat operasi pihak keamanan dengan turut menerjunkan tim penjinak bom, ambulans, dan petugas pemadam kebakaran.
Sebelumnya jalan-jalan di daerah Phillipstown, sebuah kota di Pulau Selatan Selandia Baru, juga turut ditutup.
Tindakan taktis kepolisian tersebut bermula dari adanya panggilan darurat yang mengabarkan adanya "ancaman tentang alat peledak".
Paket yang berisi alat peledak itu ditemukan di Christchurch, kota tempat Brenton Tarrant menghabisi 50 jemaat di dua masjid. Puluhan lainnya luka-luka dalam serangan tiba-tiba yang berlangsung di Masjid Al Noor dan Linwood tersebut. Para jemaat diserang saat salat Jumat tengah berlangsung.
Pria kelahiran Australia berusia 28 tahun itu mengklaim sebagai seorang supremasi kulit putih. Sebelum melancarkan tembakan, ia menerbitkan manifesto secara daring. Ia juga sempat melakukan siaran langsung di akun Facebook pribadi, yang saat ini telah diblokir oleh perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu.
Tarrant saat ini telah dijatuhi 50 tuduhan pembunuhan. Ia tengah dipenjara, dengan pengawasan super ketat oleh pihak berwenang Selandia Baru.