Liputan6.com, Ramallah - Sedikitnya empat warga Palestina dilaporkan tewas dalam aksi unjuk rasa di perbatasan Gaza, Jumat 3 Mei 2019. Tak hanya warga Palestina, seorang pejabat Israel juga mengatakan bahwa dua orang tentaranya turut kehilangan nyawa.
Dikutip dari laman TRTWorld, Sabtu (4/5/2019) aksi demonstrasi ini menjadi agenda mingguan, tiap hari Jumat warga Palestina akan berunjuk rasa. Bahkan harus mempertaruhkan nyawa.
Advertisement
Baca Juga
Menurut keterangan dari Kementerian Kesehatan Palestina, dua warganya tewas setelah tertembak oleh tentara Israel. Sementara dua lainnya belum diketahui penyebabnya.
Pasukan Israel mengatakan, serangan udara yang dilakukan sebagai balasan atas insiden penembakan di perbatasan yang menyebabkan tentaranya terluka.
Kementerian di Gaza menyebut orang-orang yang tewas dalam serangan udara itu adalah Abdullah Abu Mallouh (33) dan Alaa al Babli (29).
Israel mengklaim telah menghancurkan pangkalan milik Hamas setelah tembakan dilancarkan ke pasukannya di sepanjang perbatasan.
Hamas membenarkan bahwa dua pria yang tewas dalam serangan udara adalah anggotanya. Kelompok itu juga berjanji akan segera menanggapi apa yang disebutnya sebagai “agresi Israel.”
Palestina telah berpartisipasi dalam demonstrasi di sepanjang perbatasan Gaza selama lebih dari setahun.
Setidaknya 268 warga Palestina telah terbunuh oleh tembakan Israel sejak protes dimulai pada Maret 2018, mayoritas tewas di sepanjang perbatasan Gaza, Palestina.
PM Israel Sukses Dapat Jabatan Kelima, Mimpi Buruk Palestina?
Sementara itu, pemilihan umum di Israel pada awal April lalu menunjukkan kemenangan blok sayap kanan yang mendukung petahana, Benjamin Netanyahu. Dengan lebih dari 99 persen suara telah dihitung, kubu Netanyahu berhasil mendapatkan 65 dari 120 kursi parlemen.
Rival utama Netanyahu, Benny Gantz mengakui kekalahannya pada Rabu, 10 April 2019.
"Kami menghormati keputusan rakyat," katanya kepada wartawan, mengutip Al Jazeera.
Sebetulnya, kubu Biru dan Putih pendukung Gantz memenangkan kursi hampir sama besar dengan Partai Likud yang dipimpin sang petahana.
Namun, kubu Gantz seolah buntu untuk berkoalisi dengan partai lain agar menjadi mayoritas parlemen. Mengingat, partai-partai sayap kanan telah bersatu dengan kubu Netanyahu.
Para pendukung petahana bersuka ria pada Rabu pagi. Berbicara kepada kerumunan, Netanyahu memuji usaha mereka atas pencapaian yang tidak dibayangkan.
"Saya sangat tersentuh karena bangsa Israel sekali lagi mempercayakan saya untuk kelima kalinya, bahkan dengan kepercayaan yang lebih besar," kata Netanyahu.
Perlu diketahui, jumlah pemilih pada pemilu kali ini sebanyak 67,9 persen dari warga yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Angka itu menurun dari 71,8 persen pada 2015 lalu. Rendahnya partisipasi itu salah satunya akibat adanya kampanye untuk memboikot pemilihan.
Meski memecahkan rekor menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah Israel, Netanyahu masih harus menghadapi kemungkinan didakwa atas tuduhan korupsi.
Advertisement
Mimpi Buruk Palestina
Terpilihnya kembali Netanyahu sebagai perdana menteri Israel untuk jabatan kelima, menjadi tantangan tersendiri bagi usaha perdamaian dengan Palestina.
Hanan Ashrawi, anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengatakan kemenangan petahana Israel mengubah seluruh strategi permainan.
"Mereka telah membatalkan perjanjian apapun. Mereka telah menolak solusi dua negara. Mereka benar-benar meniadakan persyaratan perdamaian. Mereka benar-benar melanggar hukum internasional. Sekarang kita membutuhkan strategi baru untuk menangani masalah ini," tutur Hanan.
Tak hanya itu, menjelang pemilu Netanyahu telah mengatakan jika terpilih kembali, ia akan menganeksasi pemukiman di Tepi Barat. Selain itu, sang petahana mengatakan tak akan membiarkan pembentukan negara Palestina terjadi.
Kebijakan "Apartheid" Berlanjut?
Seorang analis isu Palestina yang berbasis di Haifa mengatakan hal yang senada dengan PLO. Diana Buttu, yang juga merupakan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Palestina menyebut kemenangan itu memungkinkan Netanyahu untuk melanjutkan kebijakan "apartheid, kolonisasi, dan rasisme".
Buttu melanjutkan, selama Netanyahu menjadi perdana menteri, otoritas Palestina telah berulang kali berteriak meminta tolong. Mereka menginginkan masyarakat internasional untuk campur tangan terhadap kasus pengeboman Gaza, pembangunan pemukiman ilegal, dan pembongkaran rumah-rumah warga Palestina. Tak hanya itu, Israel juga mengesahkan hukum negara-negara bagian dan pencaplokan wilayah Tepi Barat yang merugikan Palestina.
"(Netanyahu) secara ideologis menentang kebebasan Palestina. Dia akan terus melakukan apapun yang dia inginkan terhadap Palestina," kata Buttu.