Sukses

Myanmar Bebaskan Dua Jurnalis Peliput Krisis Rohingya yang Ditahan 500 Hari

Setelah ditahan lebih dari 500 hari, pemerintah Myanmar akhirnya membebaskan dua wartawan yang ditangkap karena meliput krisis Rohingya.

Liputan6.com, Naypyidaw - Dua orang wartawan kantor berita Reuters yang dipenjara di Myanmar karena melaporkan "dugaan pembersihan etnis Muslim Rohingya" resmi mendapat pengampunan, dan dibebaskan setelah mendekam di balik jeruji besi selama sekitar 500 hari terakhir.

Wa Lone (33) dan Kyaw Soe Oo (29) ditangkap pada Desember 2017, karena dituduh melanggar Undang-Undang Rahasia Negara warisan kolonial Inggris, dengan merilis kabar yang sensitif bagi pemerintah Myanmar.

Sejak itu, sebagaiman dikutip dari The Guardian pada Selasa (7/5/2019), keduanya dijebloskan ke balik jeruji penjara Insein di pinggrian Yangon.

Kedua wartawan dibebaskan pada hari Selasa sebagai bagian dari amnesti 6.520 tahanan oleh presiden Myanmar, Win Myint. Kepala Penjara Insein, Zaw Zaw, membenarkan bahwa Wa Lone dan Kyaw Soe Oo telah dibebaskan dari penjara.

Berbicara beberapa saat setelah pembebasannya, Wa Lone mengatakan kepada wartawan: "Saya benar-benar bahagia dan bersemangat melihat keluarga dan kolega saya. Saya tidak sabar untuk pergi ke ruang redaksi saya."

Bersamaan dengannya, Stephen J Adler, pemimpin redaksi Reuters mengatakan: "Saya sangat senang Myanmar telah membebaskan wartawan pemberani kami, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo."

"Sejak penangkapan keduanya pada 511 hari lalu, mereka telah menjadi simbol pentingnya kebebasan pers di seluruh dunia. Kami menyambut kembalinya mereka," kata Adler.

Amal Clooney, yang bergabung dengan tim kuasa hukum kedu wartawan, mengatakan bahwa pembebasan tersebut merupakan hasil tekad luar biasa dari Reuterx "dalam mengejar keadilan bagi wartawan mereka yang pemberani".

"Sangat menginspirasi melihat organisasi berita yang begitu berkomitmen untuk melindungi orang-orang tak bersalah dan profesi jurnalisme," kata Clooney.

"Saya berharap bahwa pembebasan mereka menandakan komitmen baru untuk kebebasan pers di Myanmar," lanjutnya optimis.

 

 

2 dari 3 halaman

Dikelabui Polisi Setempat

Pada saat penangkapan mereka, kedua wartawan itu sedang melakukan penyelidikan mendalam terhadap kekerasan brutal di negara bagian Rahkine, yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Rohingya, pada Agustus 2017.

Kekerasan itu memaksa lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke Bangladesh dan menyebabkan tuduhan genosida.

Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, warga negara Myanmar yang bekerja untuk kantor berita internasional Reuters, terus mempertahankan kesaksian bahwa mereka dikelabui oleh polisi setempat yang mengatakan tidak masalah untuk membeberkan beberapa dokumen resmi.

Setelah persidangan berlarut-larut yang secara luas dianggap palsu, dengan bukti lemah dan saksi yang bertentangan, termasuk seorang polisi yang mengaku diperintah untuk mengatur operasi sengatan, pasangan itu dihukum tujuh tahun penjara pada September 2017.

Pengampunan pasangan itu, oleh presiden Myanmar, terjadi setelah 16 bulan tekanan yang meningkat dari para pemimpin internasional, diplomat, organisasi hak asasi manusia, dan bahkan tokoh agama.

Sebelumnya, pemimpin de facto dan peraih Nobel Aung San Suu Kyi, telah berulang kali menolak seruan oleh tokoh-tokoh dunia agar dia mengampuni kedua wartawan itu.

3 dari 3 halaman

Mendadak Dibebaskan

Tidak jelas mengapa kebijakan membaskan kedua wartawan tersebut diputuskan sekarang.

Penantian panjang pembebasan mereka terjadi satu bulan setelah Mahkamah Agung Myanmar, menolak permohonan sidang terakhir untuk membatalkan hukuman keduanya.

Pemerintah Myanmar juga tidak memilih untuk mengampuni Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dalam amnesti tahunan pada Januari lalu, di mana sebanyak 9.000 tahanan telah dibebaskan.

Di lain pihak, sebuah pernyataan dari koordinator kemanusiaan PBB di Myanmar, mengatakan: "PBB di Myanmar menyambut baik pembebasan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dari penjara. Kami menganggap pembebasan mereka sebagai langkah untuk meningkatkan kebebasan pers, dan tanda komitmen pemerintah Myanmar terhadap transisi ke demokrasi."