Sukses

Iran Sebut Kedatangan Kapal Induk AS sebagai Perang Psikologis

Iran menyebut tindakan AS yang mengirimkan kapal perang sebagai perang psikologis. Ini penjelasannya.

Liputan6.com, Teheran - Baru-baru ini Amerika Serikat mengirim kapal perang dan satu gugus pengebom ke Timur Tengah. Penasihat keamanan Negeri Paman Sam John Bolton menyebutnya sebagai respons atas sikap Iran yang "mengganggu".

Pengiriman armada militer itu disebut sebagai pertanda yang jelas bahwa AS siap membalas setiap serangan yang dilakukan oleh Iran kepada negaranya atau para sekutu.

Tidak terima dengan pengumuman itu, Iran menyebut tindakan AS sebagai upaya mengirim pesan perang "psikologis", demikian mengutip Al Jazeera pada Selasa (7/5/2019).

"Pernyataan Bolton adalah penggunaan cara lama untuk melakukan perang psikologis," kata Keyvan Khosravi, juru bicara dewan keamanan nasional tertinggi Iran.

Khosravi menambahkan, negaranya telah mengamati kapal induk Amerika Serikat yang memasuki Laut Mediterania sejak 21 hari yang lalu.

Sang juru bicara dewan keamanan Negeri Persia juga mengatakan bahwa Bolton tidak memiliki cukup pemahaman militer dan keamanan. Pernyataan yang diberikannya hanya bertujuan untuk "menarik perhatian terhadap dirinya sendiri".

Apa yang mendorong langkah AS masih belum jelas hingga saat ini. Namun tindakan mengirimkan armada perang jelas menjadi tanda peningkatan ketegangan bilateral.

Patrick Shanahan, menteri pertahanan AS, mengatakan pada hari Senin bahwa ia menyetujui penempatan itu karena indikasi ancaman yang datang dari Iran. Shanahan tidak menyebut jelas apa ancaman yang dimaksud.

"Kami menyerukan rezim Iran untuk menghentikan semua provokasi. Kami akan meminta rezim Iran bertanggung jawab atas segala serangan terhadap pasukan AS atau kepentingan kami," kata Shanahan melalui Twitter.

2 dari 3 halaman

Misteri Pengiriman Kapal Perang

Pengumuman Bolton yang tiba-tiba mengagetkan banyak pihak. Mengingat biasanya langkah itu dilakukan oleh kementerian pertahanan, bukan penasihat keamanan. Meskipun pada akhirnya penjabat pentagon menyetujui kebijakan tersebut.

Untuk diketahui, kapal perang yang dikirim ke Timur Tengah untuk merespons Iran tersebut adalah USS Abraham Lincoln. Armada itu sebelumnya sempat dikerahkan selama invasi AS ke Irak pada 2003.

Barbara Slavin, direktur Future of Iran Initiative di Atlantic Council mengatakan pengumuman Bolton pada Minggu dibuat sebagai pembenaran atas pernyataan administrasi Trump. Khususnya, terkait anggapan bahwa Negeri Persia masih mengancam.

Padahal para pengawas di PBB telah melaporkan bahwa Iran mematuhi kesepakatan nuklir.

"Dengan tindakan Bolton itu ... Saya tidak akan melupakannya bahwa ia mencoba membuat krisis di sini," kata Slavin.

Untuk diketahui, Trump telah memutuskan keluar dari perjanjian itu. Namun hingga saat ini, kesepakatan yang dimaksud masih dibeking oleh Eropa dan mendapatkan simpati dari kubu Demokrat di AS.

Menurut kantor berita semi-pemerintah ISNA, Presiden Iran Hassan Rouhani mungkin akan mengumumkan tindakan pembalasan atas langkah AS pada Rabu, 8 Mei 2019.

3 dari 3 halaman

Benarkah AS Inginkan Perang?

Dikutip dari Time.com, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengaku ragu jika Trump menginginkan konflik di Iran. Hal itu mengingat presiden AS ke-45 itu telah berjanji "untuk tidak menyia-nyiakan dana keamanan US$ 7 triliun di Iran, dan membuat situasinya kian memburuk".

Namun, masih menurut Zarif, hal tersebut terdistraksi oleh "rencana tim B", yang disebutnya terdiri dari Penasehat Keamanan AS John Bolton, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed.

"Mereka sedang berusaha mendorong Iran untuk mengambil tindakan, sebagai dalih untuk tindakan AS yang gila," ujar Zarif.

"Ini belum krisis, tapi ini adalah situasi berbahaya," lanjutnya memperingatkan.

Pemerintahan Trump memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran, termasuk pada sektor energinya, pada November lalu. Hal itu dilakukan setelah penarikan Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir dengan Iran dan enam kekuatan dunia lainnya, pada 2015.