Liputan6.com, New Delhi - India tengah menggelar pemilihan umum terbesar di dunia, di mana lebih dari 900 juta orang memenuhi syarat untuk memberikan suaranya pada 11 April hingga 19 Mei.
Meski pemilihan umum ini mengusung kebebasan politik, sebagian masyarakat India tidak diberi akses ke internet selama berhari-hari ketika mereka bersiap untuk memberikan suara, demikian sebagaimana dikutip dari CNN pada Kamis (9/5/2019).
Sejak pemungutan suara dimulai bulan lalu, pemblokiran akses internet seluler telah dilaporkan terjadi di lebih dari 30 wilayah di negara bagian Rajasthan, Benggala Barat, dan Kashmir yang dikelola India, lapor Software Freedom Law Center (SFLC) yang berbasis di Delhi.
Advertisement
Baca Juga
Menurut SFLC, pada 18 April, pihak berwenang di distrik Srinagar dan Udhampur, negara bagian Kashmir yang dikelola India, menangguhkan akses internet seluler selama pemungutan suara, "sebagai langkah untuk menjaga hukum dan ketertiban".
Ini sejalan dengan peningkatan besar-besaran penutupan internet --baik seluler maupun akses penuh-- di India dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya meningkat dari 79 kali pada 2017, menjadi lebih dari 130 perintah tahun lalu.
Rakesh Maheshwari, juru bicara Kementerian Elektronika dan Teknologi Informasi India, mengatakan bahwa penutupan internet biasanya dilakukan oleh otoritas negara karena "skenario hukum dan ketertiban".
Tren ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang komitmen India terhadap kebebasan internet, khususnya selama pemilihan umum, ketika akses masyarakat terhadap informasi bahkan lebih penting daripada biasanya.
"Penutupan Internet mengganggu kehidupan sehari-hari warga di daerah yang terkena dampak. Kebijakan itu menjadi penghalang bagi pelaksanaan hak asasi manusia," kata analis SFLC Sukarn Singh Maini.
"Demokrasi fungsional tergantung pada kemampuan warga negara untuk menggunakan kebebasan berbicara, termasuk kemampuan untuk secara bebas mengakses informasi," lanjutnya prihatin.
Sabotase akses internet juga disebut berisiko menyebabkan kerusakan ekonomi.
Menurut sebuah studi tahun 2018 oleh ICRIER, lembaga think tank yang berbasis di Delhi, gabungan 16.315 jam penutupan internet antara 2012 dan 2017 bisa membuat nilai ekonomi India naik hingga US$ 3 miliar.
"Ketika kehidupan kita mulai banyak bergerak secara online, maka bisnis, lembaga pendidikan dan pemerintah dengan sendirinya tumbuh bergantung pada internet, untuk pelaksanaan aktivitas sehari-hari," kata Maini.
Â
Berawal dari Desas-Desus Media Sosial
Pihak berwenang India telah membenarkan pembatasan internet dengan alasan menjaga keamanan publik, di tengah kekhawatiran meluasnya kekerasan massa dan main hakim sendiri.
Pada Juli tahun lalu, sekitar 2.000 orang menyerang sekelompok kecil laki-laki yang mereka tuduh berusaha menculik anak-anak, dan membunuh salah satu dari mereka.
Kasus di atas adalah salah satu contoh dari tindak persekusi yang berawal dari desas-desus di media sosial, di mana memicu desakan untuk memberlakukan kontrol baru pada risiko persebaran berita palsu.
Menjelang pemilu India, kekhawatiran serius muncul tentang bagaimana WhatsApp dan platform berbagai pesan lainnya berpotensi mempengaruhi hasil, baik dengan menyebarkan berita palsu tentang kandidat, atau menghasur massa di sekitar pelaksanaan pemungutan suara.
WhatsApp telag meresponsnya dengan membatasi kemampuan pengguna dalam meneruskan pesan dan menyiarkannya ke grup besar.
"Kami telah terlibat dengan partai-partai politik untuk menjelaskan pandangan perusahaan kami, bahwa WhatsApp bukan platform siaran dan bukan tempat untuk mengirim pesan dalam skala besar, dan untuk menjelaskan kepada mereka bahwa kami akan melarang akun yang melakukan perilaku (mencurigakan)," kata juru bicara WhatsApp, Carl Woog.
Advertisement
Tren Menekan Kebebasan Online
Kekhawatiran serupa muncul bulan lalu, setelah pihak berwenang di Sri Lanka memutus akses ke Facebook dan WhatsApp pasca-serangan bom bunuh diri terkoordinasi yang menewaskan 257 orang.
Sementara pihak berwenang Sri Lanka membenarkan larangan tersebut, atas dasar mencegah penyebaran berita palsu dan mencegah kekerasan tambahan, disinformasi terus menyebar setelah serangan.
Akibatnya, banyak orang yang terputus dari informasi atau tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga mereka di masa kritis.
Sementara itu, menurut Subhodeep Jash, seorang peneliti di New America Foundation yang berbasis di Washington, mengatakan bahwa pembatasan akses internet yang kian meningkat di India adalah bagian dari "tren menekan kebebasan online".
Dia menunjuk ke insiden lain, seperti pemblokiran sementara aplikasi TikTok baru-baru ini, sebagai tanda skeptisisme India yang meningkat tentang internet terbuka.
Ironisnya, kebijakan itu dilakukan bahkan ketika pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi berinvestasi besar-besaran di sektor teknologi.