Sukses

Unjuk Rasa di Perbatasan Gaza, Pria Palestina Tewas Tertembak di Perut

Menurut keterangan dari Kementerian Kesehatan Palestina, serangan mematikan memang terjadi setiap minggu di perbatasan tersebut.

Liputan6.com, Gaza - Seorang warga Palestina dilaporkan tewas dalam unjuk rasa yang terjadi di perbatasan Gaza pada Jumat 10 Mei 2019.

Dikutip dari laman Aljazeera, Sabtu (11/5/2019) Abdullah Abd al-Aal (24) ditembak pada bagian perutnya oleh tentara Israel tepat di jalur Gaza selatan.

Menurut keterangan dari Kementerian Kesehatan Palestina, serangan mematikan memang terjadi setiap minggu di perbatasan tersebut.

Tak hanya korban tewas, Kementerian Kesehatan Palestina turut mencatat ada 30 orang yang dilaporkan mengalami luka-luka.

Protes mingguan yang dimulai sejak 30 Maret 2018 tersebut telah menewaskan ratusan warga Palestina. Mereka menuntut hak atas rumah mereka yang direbut secara paksa oleh Israel di masa lalu.

Pada minggu lalu, Jumat 3 Mei 2019, sedikitnya empat warga Palestina dilaporkan tewas dalam aksi unjuk rasa di perbatasan Gaza.

Tak hanya warga Palestina, seorang pejabat Israel juga mengatakan bahwa dua orang tentaranya turut kehilangan nyawa.

Palestina telah berpartisipasi dalam demonstrasi di sepanjang perbatasan Gaza selama lebih dari setahun.

Setidaknya 268 warga Palestina telah terbunuh oleh tembakan Israel sejak protes dimulai pada Maret 2018, mayoritas tewas di sepanjang perbatasan Gaza, Palestina.

 

2 dari 3 halaman

PM Israel Sukses Dapat Jabatan Kelima, Mimpi Buruk Palestina?

Sementara itu, pemilihan umum di Israel pada awal April lalu menunjukkan kemenangan blok sayap kanan yang mendukung petahana, Benjamin Netanyahu. Dengan lebih dari 99 persen suara telah dihitung, kubu Netanyahu berhasil mendapatkan 65 dari 120 kursi parlemen.

Rival utama Netanyahu, Benny Gantz mengakui kekalahannya pada Rabu, 10 April 2019.

"Kami menghormati keputusan rakyat," katanya kepada wartawan, mengutip Al Jazeera.

Sebetulnya, kubu Biru dan Putih pendukung Gantz memenangkan kursi hampir sama besar dengan Partai Likud yang dipimpin sang petahana.

Namun, kubu Gantz seolah buntu untuk berkoalisi dengan partai lain agar menjadi mayoritas parlemen. Mengingat, partai-partai sayap kanan telah bersatu dengan kubu Netanyahu.

Para pendukung petahana bersuka ria pada Rabu pagi. Berbicara kepada kerumunan, Netanyahu memuji usaha mereka atas pencapaian yang tidak dibayangkan.

"Saya sangat tersentuh karena bangsa Israel sekali lagi mempercayakan saya untuk kelima kalinya, bahkan dengan kepercayaan yang lebih besar," kata Netanyahu.

Perlu diketahui, jumlah pemilih pada pemilu kali ini sebanyak 67,9 persen dari warga yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Angka itu menurun dari 71,8 persen pada 2015 lalu. Rendahnya partisipasi itu salah satunya akibat adanya kampanye untuk memboikot pemilihan.

Meski memecahkan rekor menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah Israel, Netanyahu masih harus menghadapi kemungkinan didakwa atas tuduhan korupsi.

 

3 dari 3 halaman

Mimpi Buruk Palestina

Terpilihnya kembali Netanyahu sebagai perdana menteri Israel untuk jabatan kelima, menjadi tantangan tersendiri bagi usaha perdamaian dengan Palestina.

Hanan Ashrawi, anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengatakan kemenangan petahana Israel mengubah seluruh strategi permainan.

"Mereka telah membatalkan perjanjian apapun. Mereka telah menolak solusi dua negara. Mereka benar-benar meniadakan persyaratan perdamaian. Mereka benar-benar melanggar hukum internasional. Sekarang kita membutuhkan strategi baru untuk menangani masalah ini," tutur Hanan.

Tak hanya itu, menjelang pemilu Netanyahu telah mengatakan jika terpilih kembali, ia akan menganeksasi pemukiman di Tepi Barat. Selain itu, sang petahana mengatakan tak akan membiarkan pembentukan negara Palestina terjadi.

Kebijakan "Apartheid" Berlanjut?

Seorang analis isu Palestina yang berbasis di Haifa mengatakan hal yang senada dengan PLO. Diana Buttu, yang juga merupakan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Palestina menyebut kemenangan itu memungkinkan Netanyahu untuk melanjutkan kebijakan "apartheid, kolonisasi, dan rasisme".

Buttu melanjutkan, selama Netanyahu menjadi perdana menteri, otoritas Palestina telah berulang kali berteriak meminta tolong. Mereka menginginkan masyarakat internasional untuk campur tangan terhadap kasus pengeboman Gaza, pembangunan pemukiman ilegal, dan pembongkaran rumah-rumah warga Palestina. Tak hanya itu, Israel juga mengesahkan hukum negara-negara bagian dan pencaplokan wilayah Tepi Barat yang merugikan Palestina.

"(Netanyahu) secara ideologis menentang kebebasan Palestina. Dia akan terus melakukan apapun yang dia inginkan terhadap Palestina," kata Buttu.

Video Terkini