Sukses

PM Selandia Baru Desak Komunitas Internasional Perangi Ekstremisme Online

PM Selandia Baru Jacinda Ardern mendesak negara-negara lain untuk memberantas ekstremisme online. Proposal itu bernama Christchurch Calling.

Liputan6.com, Wellington - Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mendesak negara-negara lain untuk pemberantasan ekstremisme online (daring). Ardern akan bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris pada minggu ini untuk membicarakan hal tersebut.

Pertemuan itu bertepatan dengan rapat para menteri yang menggeluti permasalahan digital dari negara-negara G7, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (13/5/2019). Ardern digadang-gadang akan mendesak pemimpin negara lain untuk bergabung dalam rencananya yang diberi nama "Christchurch Calling".

 

Proyek itu disebut oleh Ardern berkaitan dengan keadaan pasca-serangan di dua masjid Kota Christchurch, Selandia Baru yang terjadi pada 15 Maret lalu. Saat itu, 51 orang terbunuh yang disiarkan secara online dengan rekaman pembantaian dibagikan ribuan kali.

Inisiatif Ardern yang dimaksud akan meminta negara-negara penandatangan untuk mengadopsi dan menegakkan hukum yang melarang materi yang tidak pantas di internet, serta bagaimana melaporkan tindak terorisme tersebut.

Proposal Christchurch Calling itu akan bersifat sukarela dan setiap negara akan memiliki hak untuk mengatur penegakan hukum di yurisdiksinya sendiri.

Definisi konten ekstremis juga tidak dimasukkan dalam proposal yang diinisiasi oleh PM Selandia Baru. Hal itu terserah pada masing-masing pihak untuk memutuskan apa yang disebut sebagai "materi yang tidak pantas". Pihak yang dimaksud tidak hanya negara namun juga perusahaan teknologi.

Jika berkeinginan untuk bergabung, perusahaan teknologi harus menegakkan persyaratan layanan mereka, serta "mengevaluasi kembali algoritma mereka yang mengarahkan pengguna ke konten ekstremisme."

2 dari 3 halaman

Tak Akan Melanggar Hak Pengguna Internet

Pada pertemuan puncak di Paris pada hari Rabu, Ardern akan bertemu dengan para pemimpin raksasa teknologi global termasuk Google, Facebook, Microsoft dan Twitter. Adapun CEO Facebook Mark Zuckerberg disebut-sebut tidak akan menghadiri acara tersebut.

Ardern menekankan pula bahwa internet tetap akan bersifat "bebas, terbuka, dan dapat diakses". Menurutnya, "Panggilan Christchurch tidak akan melanggar hak-hak itu, namun berusaha untuk berpatroli dalam penyebaran materi terorisme dan ekstremisme secara online."

Pejabat Selandia Baru disebut-sebut juga telah mengunjungi Gedung Putih untuk membahas proposal ini. Meskipun Negeri Paman Sam telah mengindikasikan mereka tidak akan berikut serta.

Inggris, Kanada, Yordania, Senegal, Indonesia, Norwegia, dan Irlandia telah mengindikasikan mereka bermaksud menandatangani perjanjian.

3 dari 3 halaman

Tak Ingin Sejarah Gelap Terulang

PM Jacinda Ardern nampaknya tak ingin sejarah kelam negaranya terulang lagi. Sebagaimana diketahui, Ardern sempat menggambarkan penembakan massal di Christchurch sebagai salah satu hari tergelap di negara itu.

Pemerintahannya sejak itu telah bergerak untuk memperketat undang-undang senjata dan sedang meninjau peraturan yang berkaitan dengan ujaran kebencian.

Sebagai tambahan informasi, Brenton Tarrant, seorang yang juga mengaku sebagai pendukung supremasi kulit putih, adalah satu-satunya tersangka serangan di dua masjid di mana para jamaah berkumpul untuk sholat Jumat.

Tarrant sekarang berada di penjara dengan keamanan maksimum, dan dikabarkan tengah menjalani tes psikiatris untuk menentukan apakah dia secara mental sehat untuk diadili atas 50 tuduhan pembunuhan, dan 39 percobaan pembunuhan.

Â