Sukses

Ironis, Korea Selatan 'Mengekspor' Banyak Sarjana yang Menganggur

Korea Selatan memiliki sangat banyak pencari kerja yang berakhir dengan program pemerintah untuk mengirim pemudanya bekerja di luar negeri.

Liputan6.com, Seoul - Nama Cho Min-kyong mencuat baru-baru ini sebagai perempuan Korea Selatan yang lulus sebagai sarjana teknik dari sebuah universitas top Negeri Ginseng.

Cho mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan, meskipun ia memiliki nilai kecakapan bahasa Inggris yang tinggi dan pernah mendapatkan penghargaan dalam bidang desain.

Dia ditolak sepuluh kali saat melamar pekerjaan. Namun, enam bulan kemudian ia mendapat tawaran pekerjaan dari Nissan Motor Co. dan dua perusahaan Jepang lainnya. Berita baik itu datang pasca-mengikuti sebuah acara pekan kerja (job fair).

Mengapa Cho Sulit Mendapat Pekerjaan?

"Bukannya saya tidak cukup baik. Ada terlalu banyak pencari kerja seperti saya," kata perempuan 27 tahun itu, yang sekarang telah bekerja sebagai insinyur kursi mobil untuk Nissan.

Saat ini banyak anak muda Korea Selatan yang mendaftar program pemerintah untuk menemukan pekerjaan di luar negeri. Hal itu ditujukan bagi para lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki pekerjaan di negara dengan ekonomi terbesar di Asia tersebut.

Sebanyak 5.783 lulusan telah menemukan pekerjaan dalam program yang bertujuan "menghubungkan kaum muda dengan pekerjaan berkualitas" di 70 negara itu.

Sepertiga dari total lulusan mendapatkan pekerjaan di Jepang, yang tengah mengalami kekurangan tenaga kerja. Sementara seperempat di antaranya pergi ke Amerika Serikat. Mereka tidak diwajibkan untuk kembali dan bekerja bagi pemerintah Korea Selatan seperti kebijakan Singapura.

Fokus utama pemerintah adalah untuk mencegah para lulusan perguruan tinggi jatuh ke dalam kemiskinan, demikian kata Kim Chul-ju, wakil dekan di Asian Development Bank Institute.

2 dari 3 halaman

1 dari 5 Pemuda Korsel Menganggur pada 2013

Hampir satu dari lima pemuda di Korea Selatan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan pada 2013. Angka itu lebih tinggi dari rata-rata negara anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berapa pada 16 persen.

Kondisi pengangguran di Negeri Ginseng menjadi unik, karena hal itu diperparah dengan keberadaan konglomerat yang menciptakan lapangan kerja namun dikelola dan didominasi keluarga. Hal itu dikenal sebagai chaebol.

Belum lagi, sejumlah perusahaan terkenal seperti Samsung dan Hyundai hanya memiliki sedikit karyawan. Merek-merek yang menyumbang setengah dari total kapital pasar Korea Selatan itu berusaha "tidak meningkatkan perekrutan" tenaga kerja.

Hal itu disebabkan oleh biaya buruh yang naik dan memecat pekerja lama tetap sulit, kata Kim So, seorang profesor ekonomi di Seoul National university.

 

 

3 dari 3 halaman

Padahal Memiliki Pendidikan Tertinggi

Realitas susahnya mencari pekerjaan sangat kontras dengan data bahwa Korea Selatan memiliki pemuda berpendidikan paling tinggi di OECD. Tiga perempat siswa sekolah menengah melanjutkan ke perguruan tinggi di Negeri Ginseng tersebut.

Mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan di luar negeri dengan ijazah sarjana juga belum tentu bermasa depan cerah.

Beberapa orang yang mendapatkan pekerjaan di luar negeri dengan bantuan pemerintah mengatakan, mereka akhirnya mengambil pekerjaan kasar. Beberapa di antaranya mendapatkan gaji dan kondisi yang tidak sesuai ekspektasi.

Lee Sun-hyung hanya mendapatkan gaji sekitar A$600 di Australia, sekitar Rp 6.000.000 perbulan. Jumlah itu adalah sepertiga dari nominal yang disebutkan pemerintah kepadanya.

"Ini bukan apa yang saya harapkan," kata Lee (30) yang akhirnya bekerja paruh waktu dengan membersihkan jendela di toko pakaian.

Video Terkini