Sukses

Utusan PBB: Perang Saudara Picu Libya di Ambang Perpecahan Permanen

Perwakilan Khusus PBB menyebut Libya bisa mengalami perang saudara yang dapat mengarah pada perpecahan permanen.

Liputan6.com, New York - Kerusakan yang terjadi di Libya selama konflik internal menahun sudah akan memakan waktu sangat lama untuk diperbaiki. Dan, hal yang lebih parah bisa akan terjadi jika pertempuran perebutan ibukota Tripoli antara pemerintah dan oposisi tidak berhenti.

"Oleh karenanya, Libya bisa mengalami perang saudara yang dapat mengarah pada perpecahan permanen," kata Perwakilan Khusus PBB untuk Libya, Ghassan Salamé, yang juga mengepalai Misi Dukungan UNSMIL, memberi pengarahan kepada Dewan Keamanan pada Selasa 21 Mei 2019.

Pertemuan itu dilaksanakan usai berminggu-minggu konflik intensif di dalam dan sekitar pinggiran Tripoli, antara pasukan loyalis Jenderal Khalifa Haftar yang beroposisi dengan pemerintah Libya yang diakui PBB (GNA).

Salamé mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa sudah ada 460 orang tewas - 29 warga sipil - sejak konflik dimulai pada awal April.

Lebih dari 2.400 telah terluka, dan 75.000 mengungsi dari rumah mereka, mayoritas warga sipil, dengan setengah dari perempuan dan anak-anak terlantar.

Kekerasan dimulai pada malam sebelum Government of National Accord (GNA) --pemerintahan yang didukung PBB-- berencana untuk mengumpulkan lebih dari 150 perwakilan dari seluruh negeri. Namun, konflik yang rencana berlangsung pada awal pekan ini harus ditunda.

"Padahal ada kegembiraan publik yang besar tentang apa yang bisa dihasilkan oleh konferensi itu," kata sang utusan PBB, menambahkan bahwa pertemuan, "memiliki cara untuk mengakhiri periode delapan tahun transisi Libya."

Simak Video Pilihan Berikut:

2 dari 2 halaman

Konflik Tripoli Bisa Memicu Instabilitas Domestik dan Kawasan

Kekerasan di pinggiran Tripoli bisa menjadi permulaan dari perang yang panjang dan berdarah, memicu masalah keamanan tetangga terdekat Libya dan negara-negara lain di Mediterania yang lebih luas --jelas Perwakilan Khusus PBB untuk Libya, Ghassan Salamé kepada Dewan Keamanan.

Salamé mencatat bahwa di Libya selatan, kelompok teroris ISIS mengibarkan bendera hitamnya yang khas, dan dilaporkan bertanggung jawab atas empat serangan, menewaskan total 17 orang, dengan lebih dari 10 terluka, dan delapan lainnya diculik. Peristiwa itu terjadi setelah Jenderal Haftar dan GNA saling menembakkan senjata satu sama lain tahun ini.

"Ada banyak laporan tentang ekstremis, orang-orang di bawah sanksi internasional, dan orang-orang yang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional muncul di medan perang di semua sisi. Semua pihak harus secara terbuka melepaskan diri mereka dari unsur-unsur tersebut tanpa penundaan dan merujuk ke ICC kepada pihak-pihak yang mengeluarkan surat perintah penangkapan," katanya.

Dia meratapi aliran senjata kembali ke negara itu dan mencatat "banyak negara" menyediakan senjata ke semua pihak.

"Tanpa mekanisme penegakan hukum yang kuat, embargo senjata ke Libya akan menjadi lelucon sinis. Beberapa negara memicu konflik berdarah ini; PBB harus mengakhiri itu," tambahnya.

Beralih ke kebutuhan kemanusiaan, dia mengatakan fasilitas kesehatan berjuang untuk mengatasinya, dengan 11 ambulan "langsung terkena" serangan udara, roket, dan penembakan.

"Saya terkejut dengan pengabaian yang tampaknya terjadi karena perlindungan personel yang terlibat dalam tugas-tugas medis yang penting," katanya, menyatakan keprihatinan mendalam akan peningkatan penculikan, penghilangan paksa dan penangkapan sewenang-wenang dalam 6 pekan terakhir. Dia meminta "dukungan tegas" Dewan Keamanan dalam menerapkan Hukum Humaniter Internasional.