Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris, Theresa May, mengakui kekalahan pada Jumat, 24 Mei 2019 dan mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pemimpin Partai Konservatif.
"Ini (Brexit) akan dan selalu menjadi penyesalan mendalam bagi saya, bahwa saya belum dapat menciptakan Brexit," kata May yang berucap di podium di depan Downing St. No. 10 (kantor perdana menteri).
"Saya telah melakukan yang terbaik," imbuhnya, seperti dikutip dari NPR, Minggu (26/5/2019).
Advertisement
Mengakhiri pidatonya, May berurai air mata. Dia berusaha keras untuk menahan emosinya dan suaranya kemudian bergetar saat dia menyatakan, "Saya bersyukur bisa punya kesempatan untuk melayani negara yang saya cintai ini."
Baca Juga
Kemudian dia berbalik dan berjalan melalui pintu hitam terkenal Downing Street No. 10, London, Inggris.
Theresa May akan tetap menjadi perdana menteri sementara (hingga 7 Juni 2019) sampai pemimpin baru dipilih --sebuah proses yang direncanakan oleh Partai Konservatif selesai pada akhir Juli.
Pemimpin partai yang baru akan langsung menjadi perdana menteri Inggris tanpa perlu pemilihan umum.
PM @Theresa_May makes a statement in Downing Street https://t.co/eg4ElQMXVR
— UK Prime Minister (@10DowningStreet) May 24, 2019
Theresa May adalah perdana menteri yang menghabiskan hampir tiga tahun untuk mempertahankan hasil referendum Brexit 2016, meskipun upaya tanpa hentinya (3 kali proposal) terus menerus ditolak parlemen dan akhirnya gagal.
Pada pemilihan parlemen musim panas 2016, para pemilih membuat dunia terkejut dengan memutuskan untuk mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa. Perdana Menteri saat itu, David Cameron, kemudian hengkang.
Boris Johnson, mantan walikota London, muncul sebagai calon terdepan untuk menggantikan Cameron, tetapi manajer kampanye Johnson sendiri secara publik mentorpedo usahanya, menjadikan May sebagai satu-satunya kandidat yang layak dan pas.
Banyak politikus berpendapat bahwa mencalonkan diri sebagai perdana menteri adalah kesalahan besar pertama May.
Theresa May harus bersaing dengan para pemimpin Partai Nasional Skotlandia yang marah tentang Brexit, dan mengancam akan mengadakan referendum kemerdekaan kedua yang dapat memecah belah Inggris.
Di samping itu, mereka menilai Brexit mengancam masa depan perbatasan Irlandia, karena akan menciptakan dua ekonomi terpisah di pulau Irlandia.
Â
Simak videonya di bawah ini:
Negosiasi Alot
Theresa May harus menegosiasikan perjanjian perpisahan dengan Uni Eropa, setelah lebih dari empat dekade integrasi dan mencoba mengarahkan kesepakatan melalui Parlemen dan Partai Konservatif yang terpecah belah.
Anggota parlemen yang telah memilih untuk tetap tinggal di Uni Eropa harus menghadapi mereka yang pendukung Brexit, yang ingin benar-benar lepas dari UE meskipun perekonomian Inggris kemungkinan besar rusak.
Pengumuman mundurnya May itu muncul setelah pertemuannya dengan Graham Brady, ketua komite Tory 1922 yang memantau parlemen Inggris. Dia diketahui mengancam sang perdana menteri untuk melakukan pemungutan suara kedua, jika menolak untuk mengundurkan diri.
Nasibnya di pemerintahan terkunci oleh 10 poin "kesepakatan Brexit baru" yang diumumkan dalam pidatonya pada Selasa 21 Mei, di mana membuat marah oposisi, dan bahkan banyak anggota kabinetnya sendiri.
Advertisement
Masih Ada Tanggung Jawab
Theresa May masih harus memikul tanggung jawab untuk hadir sebagai saksi dalam pemilu Uni Eropa pada Kamis pekan depan, dan juga bersiap menjadi tuan rumah dalam kunjungan Presiden AS Donald Trump, akhir bulan ini.
Komite Tory 1922 akan menetapkan ketentuan pemilihan perdana menteri pada 7 Juni, yang diperkirakan akan berlangsung selama enam pekan.
Mantan menteri luar negeri Inggris, Boris Johnson, adalah kandidat utama untuk menjadi perdana menteri berikutnya, meski lebih dari belasan tokoh senior Tory mempertimbangkan penilaian terhadap kemungkinan kandidat lainnya.
Di kabinet May, Rory Stewart telah mengatakan akan maju bersaing, sementara Jeremy Hunt, Michael Gove, Penny Mordaunt dan Sajid Javid kemungkinan besar akan turut serta dalam pertarungan sengit itu.
Kepergian May terjadi setelah tiga tahun berselisih dengan pendukung Brexit di parlemen Inggris, terkait masa depan hubungan negara itu dengan Uni Eropa.
Isu tersebut menjadi jauh lebih sulit ketika May kehilangan mayoritas suara pada pemilihan umum 2017, setelah mempelopori apa yang secara luas dianggap sebagai kampanye bencana, menjanjikan "kepemimpinan yang kuat dan stabil untuk kepentingan nasional".Â