Liputan6.com, Kathmandu - Seorang pendaki kembali meninggal setelah mendaki Gunung Everest, menjadikan korban tewas untuk musim pendakian 2019 menjadi 11 orang.
Pengacara asal AS Christopher John Kulish (62) meninggal pada Senin 27 Mei 2019 setelah mencapai puncak Everest di sisi Nepal pada pagi hari --kata Meera Acharya, Direktur Departemen Pariwisata Nepal mengatakan kepada CNN, dilansir pada Selasa (28/5/2019).
Ketika turun, Kulish masih kuat dan segar saat mencapai Kol Selatan (terletak di ketinggian sekitar 7.900 meter) pada Senin malam sebelum dia tiba-tiba meninggal, lanjut Acharya.
Advertisement
Dalam sebuah pernyataan, keluarga lelaki asal Colorado itu mengatakan, mereka "bersedih" karena berita itu.
Baca Juga
"Chris, yang berusia 62 tahun pada bulan April, mendaki dengan kelompok yang sangat kecil dalam cuaca yang hampir ideal setelah kerumunan pekan lalu membersihkan Everest."
Juga pada Senin, sebuah keluarga Austria mengonfirmasi kematian salah satu kerabat mereka. Ernst Landgraf (64) meninggal pada Kamis 23 Mei 2019, beberapa jam setelah memenuhi mimpinya untuk mencapai puncak Gunung Everest, menurut obituari keluarga.
Seorang pemandu dari Nepal, Dhruba Bista, jatuh sakit di gunung dan diangkut dengan helikopter ke base camp, di mana ia meninggal pada Jumat 24 Mei 2019.
Seorang pendaki Irlandia, Kevin Hynes (56) meninggal pada Jumat 24 Mei pagi di sisi Tibet Everest di tendanya pada ketinggian 7.000 meter.
Dua pendaki meninggal pada Rabu 22 Mei setelah turun dari puncak: pendaki India Anjali Kulkarni (55), dan pendaki AS Donald Lynn Cash (55).
Kalpana Das (49) dan Nihal Bagwan (27) keduanya dari India, juga meninggal di Everest pekan lalu. Keduanya meninggal pada Kamis 23 Mei setelah mereka kembali dari puncak.
Ravi (28) dari India, meninggal dua pekan sebelumnya pada 17 Mei.
Pekan lalu, pencarian pendaki Irlandia Seamus Lawless (39) dibatalkan, setelah profesor di Trinity College Dublin itu jatuh saat turun dari puncak Everest, menurut Pers Assocation. Lawless hilang, diduga meninggal.
Ini Penyebabnya
Pendaki gunung telah menyarankan kondisi cuaca yang sulit, kurangnya pengalaman dan komersialisasi ekspedisi yang terus tumbuh sebagai faktor yang berkontribusi terhadap jumlah kematian yang banyak tahun ini.
Pendaki Inggris, Robin Haynes Fisher, adalah salah satu dari mereka yang telah memperingatkan akan bahaya kepadatan pendaki.
"Dengan satu rute ke puncak, penundaan yang disebabkan oleh kepadatan yang berlebihan bisa berakibat fatal, jadi saya berharap keputusan saya untuk pergi pada tanggal 25 Mei nanti akan berarti lebih sedikit orang. Kecuali tentu saja semua orang memainkan permainan menunggu yang sama," tulisnya dalam Instagram yang diposting pada 19 Mei.
Nahasnya, Fisher sendiri meninggal setelah menderita apa yang tampak sebagai penyakit ketinggian (altitude sickness) pada ketinggian 8.600 meter, ketika kembali dari puncak pada hari Sabtu.
Altitude sickness atau altitude mountain sickness (AMS) adalah salah satu faktor penyebab kematian pada banyak pendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 2.500 m. Pemicu lain bisa berupa high altitude pulmonary edema (HAPE) atau high altitude cerebral edema (HACE). Pada kasus yang lebih akut, pendaki bisa menderita chronic mountain sickness (CMS) akibat terlalu lama berada di altitude tinggi tanpa suplai oksigen yang cukup.
Sejak 20 Mei 2019, kerumunan pendaki terjebak dalam antrean ke puncak, di atas kamp tertinggi gunung pada ketinggian 8.000 meter. Puncak Gunung Everest adalah 8.848 meter
Kebanyakan orang hanya dapat menghabiskan waktu beberapa menit di puncak tanpa suplai oksigen tambahan, dan daerah di mana para pendaki gunung mengantre dikenal banyak orang sebagai "zona kematian."
Advertisement
Faktor Manusia
Pemandu gunung Adrian Ballinger mengatakan kepada CNN banyak yang melihat Everest sebagai "tantangan utama" tetapi masalah yang dia lihat adalah "tingkat pengalaman yang lebih rendah dari para pendaki yang mencoba untuk datang ke sini dan juga dari perusahaan yang mencoba menawarkan layanan (komersial) di gunung."
Ballinger melanjutkan, "Kurangnya pengalaman, baik operator komersial dan pendaki itu sendiri, menyebabkan fenomena di mana orang membuat keputusan yang buruk, membuat diri mereka dalam masalah tinggi dan akhirnya mengalami kematian yang bisa dihindari."
Ia menjelaskan bahwa pendaki berpengalaman menyebut setiap bagian dari gunung di atas 7.924 m merupakan "zona kematian," menambahkan bahwa "manusia benar-benar tidak dimaksudkan untuk ada di sana."
"Bahkan ketika menggunakan oksigen kaleng, hanya ada beberapa jam saja kita dapat benar-benar bertahan hidup di sana sebelum tubuh kita mulai mati. Jadi itu berarti jika Anda terjebak dalam antrean mendaki di atas 7.900 m ... konsekuensinya bisa sangat parah," tambahnya.
Pendaki veteran David Morton berbicara kepada CNN dari base camp di sisi Tibet Everest. Dia baru saja turun dari sekitar 100 meter dari puncak untuk proyek penelitian.
"Masalah utama adalah kurangnya pengalaman, tidak hanya pendaki yang ada di gunung tetapi juga operator yang mendampingi pendaki," jelasnya.
"Everest adalah teka-teki logistik yang sangat rumit dan saya pikir ketika Anda memiliki banyak operator yang tidak berpengalaman serta pendaki yang tidak berpengalaman juga, ditambah dengan pemerintah Nepal yang tidak membatasi jumlah orang, Anda memiliki resep utama untuk situasi nahas yang terjadi ini."
Morton mengatakan dia kerap mendaki dari sisi Tibet, di mana pemerintah telah membatasi jumlah pendaki.