Liputan6.com, Yangon - Myanmar tengah mendapatkan sanksi PBB, berupa embargo persenjataan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hal itu berkaitan dengan perlakuan Yangon terhadap muslim Rohingya yang kemudian melarikan diri ke Bangladesh.
Meskipun tengah diembargo, nyatanya Myanmar tetap bisa mengucurkan puluhan juta dolar AS untuk senjata militer mematikan terbaru, lapor AFP yang dimuat dalam laman The Star dikutip pada Kamis (30/5/2019). Yangon tengah berambisi untuk memiliki pasukan tempur kelas satu.
Advertisement
Baca Juga
Tentara Myanmar tetap berbelanja, menikmati diskon dan mengawasi pasar senjata utama dunia, meskipun baru-baru ini tuduhan pelanggaran HAM semakin meningkat terkait etnis minoritas di Rakhine.
Ternyata langkah tersebut tidak terlepas dari langkah yang diambil oleh sejumlah negara besar. Amerika Serikat meskipun meringankan sanksi ekonomi, tetap tidak menjual senjata ke Myanmar. Namun, hal berbeda terlihat dari China.
Beijing telah memberikan perlindungan diplomatik untuk Myanmar di PBB. Dan hal itu menjadi jalan utama mendapatkan senjata, menurut Lembaga Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (Sipri), yang memperkirakan bahwa dari 2013 hingga 2017 China menyumbang 68% dari impor senjata Myanmar.
Apa Saja yang Dibeli?
Persenjataan militer yang dibeli termasuk kendaraan lapis baja, teknologi rudal permukaan-ke-udara, radar, dan pesawat tanpa awak, kata Siemon Wezeman, peneliti senior Sipri untuk Asia-Pasifik.
Selain China, Rusia juga telah menjadi salah satu teman bagi Myanmar dalam panggung dunia.
Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu datang ke Myanmar pada Januari 2018 laluu, bertemu dengan seorang panglima. Keduanya menandatangani kesepakatan di mana Myanmar dapat membeli enam jet tempur Su-30, lapor media pemerintah Rusia TASS.
Biayanya diperkirakan US $ 200 juta. Jet-jet itu dimaksudkan untuk menjadi "pesawat tempur utama angkatan udara Myanmar", kata wakil menteri pertahanan itu.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan kesepakatan itu dapat memperburuk krisis Rohingya, tetapi seorang juru bicara pemerintah Rusia memiliki alasannya sendiri untuk menjalankan langkahnya.
Advertisement
Terbukti Bunuh Rohingya, Tentara Myanmar Justru Dapat Remisi
Sementara itu, tujuh tentara Myanmar yang dipenjara karena membunuh 10 pria dan anak laki-laki muslim Rohingya pada 2017, telah dibebaskan. Mereka diberikan remisi atau pengurangan hukuman. Informasi ini didapatkan dari dua pejabat di penjara, dua mantan narapidana, dan salah seorang tentara.
Mengutip Channel News Asia, para prajurit itu telah dibebaskan pada November tahun lalu, menurut dua mantan narapidana.
Dengan demikian, mereka hanya dibui kurang dari satu tahun, jauh dari hukuman yang diberikan pengadilan yakni 10 tahun masa tahanan dalam kasus pembunuhan di Desa Inn Din, yang didiami oleh Rohingya saat itu.
Masa tahanan mereka juga dikabarkan lebih sedikit dari jurnalis Reuters yang mengungkap pembunuhan muslim Rohingya oleh tentara. Sang reporter, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, menjalani 16 bulan penjara dalam dakwaan mencari dan mengungkap rahasia negara. Keduanya diberikan amnesti dan bebas pada 6 Mei lalu.
Win Naing, kepala sipir di Penjara Sittwe Rakhine dan seorang pejabat senior penjara di ibu kota, Naypyitaw, membenarkan bahwa para tentara sudah tidak berada di penjara selama beberapa bulan terakhir.
"Hukuman mereka dikurangi oleh militer," kata pejabat senior Naypyidaw, yang menolak disebutkan namanya.
Kedua pejabat penjara menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut dan mengatakan mereka tidak tahu tanggal pasti pembebasan itu, yang tidak diumumkan secara publik.