Liputan6.com, Jakarta - Gambar menakjubkan Bumi yang diambil dari perspektif orbital Stasiun Angkasa Luar Internasional (ISS) memberikan gambaran unik dari fenomena sehari-hari di planet kita: siang dan malam, yang tampak terjadi pada satu waktu.
Dalam sebuah foto yang diunggah ke Twitter pada pekan lalu, astronaut NASA Christina Koch menunjukkan seperti apa wujud dari 'kegelapan' yang merayap di separuh Bumi, sementara cahaya cerah terus menyinari sisi lain Bumi.
A couple times a year, the @Space_Station orbit happens to align over the day/night shadow line on Earth. We are continuously in sunlight, never passing into Earth’s shadow from the Sun, and the Earth below us is always in dawn or dusk. Beautiful time to cloud watch. #nofilter pic.twitter.com/BYDLv8RFVr
— Christina H Koch (@Astro_Christina) 20 May 2019
Gambar menakjubkan Bumi yang diambil dari perspektif orbital Stasiun Angkasa Luar Internasional (ISS) memberikan gambaran unik dari fenomena sehari-hari di planet kita: siang dan malam, yang tampak terjadi pada satu waktu.
Advertisement
Baca Juga
Dalam sebuah foto yang diunggah ke Twitter pada pekan lalu, astronaut NASA Christina Koch menunjukkan seperti apa wujud dari 'kegelapan' yang merayap di separuh Bumi, sementara cahaya cerah terus menyinari sisi lain Bumi.
Itu adalah pengamatan yang jarang dilakukan oleh ISS, yang biasanya tidak mengorbit pada titik transisi siang-malam. Para ahli di badan antariksa tersebut mengatakan fenomena alam ini cukup menakutkan, sehingga mereka memanggilnya sebagai terminator alias twilight zone.
"Beberapa kali dalam setahun, orbit @Space_Station kebetulan menyelaraskan garis bayangan siang/malam di Bumi," cuit Koch di akunnya @Astro_Christina, seperti dikutip dari Science Alert, Senin (3/5/2019).
Kami (astronaut) umumnya melayang atau berada di bawah sinar matahari, tidak pernah melewati bayangan Bumi dari matahari, dan kami harus berada di Bumi yang waktunya adalah fajar atau senja.
Inilah titik pandang lain dari fenomena yang dibagikan NASA pada bulan April, ketika ISS melintasi terminator di atas Teluk Guinea di pantai barat-tengah Afrika:
11 Bulan di Angkasa Luar
Dalam video terpisah yang diunggah di Twitter pada minggu lalu, Koch juga berbicara tentang bagaimana rasanya memandang Bumi dari orbit ISS.
It's not every day you get a message from space. 🚀 But that's exactly whatNOAA conference attendees got this week, when @NASA astronaut (and former NOAA employee!) Christina Koch greeted them from the International Space Station. https://t.co/CKJsnuh6nm pic.twitter.com/H8Hu23Ywqv
— NOAA Research (@NOAAResearch) 22 May 2019
"Melihat ke luar jendela ISS adalah pengalaman yang bisa membuatku untuk jadi rendah hati dan menginspirasiku," tulis Koch.
Beruntung bagi Koch, dia akan punya banyak waktu untuk menikmati dan merefleksikan pandangan yang menakjubkan itu.
Insinyur dan fisikawan tersebut diperkirakan akan tetap berada di ISS selama 11 bulan penuh, yang merupakan rekor baru bagi seorang astronaut wanita.
Advertisement
NASA Akan Kirim Astronaut Wanita ke Bulan pada 2024
Sepanjang sejarah berdirinya NASA, hanya ada 12 astronaut yang pernah menginjakkan kakinya di satelit alami Bumi: Bulan. Semuanya adalah laki-laki.
Pada awal minggu ini, badan antariksa milik pemerintah Amerika Serikat itu mengumumkan rencana mereka untuk kembali ke Bulan hanya dalam lima tahun ke depan.
Kali ini, mereka ingin berkemah di Bulan, dan untuk sampai di sana, para ilmuwan NASA mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda untuk misi Apollo selanjutnya.
Sebagai permulaan untuk misi lunar 2024, NASA menyediakan satu kursi yang dikhususkan bagi seorang astronaut wanita. Dengan adanya keputusan ini, maka dia akan menjadi astronaut perempuan pertama yang berjalan di Bulan.
Program itu dinamai dengan "Artemis" yang diambil dari nama dewi asal Yunani dan saudara kembar Apollo, Artemis.
ARTEMIS: Twin sister of Apollo and goddess of the Moon. Now, the name for our #Moon2024 mission to return @NASA_Astronauts to the surface of the Moon by 2024, including the first woman and next man. pic.twitter.com/1K9qIloZwp
— NASA (@NASA) 13 May 2019
"Lima puluh tahun setelah Apollo, program Artemis akan membawa manusia berikutnya dan wanita pertama ke Bulan," kata Bridenstine selama konferensi pers yang dikutip dari Science Alert, Rabu, 15 Mei 2019.
Simbolik atau tidak, momen tersebut diharapkan akan menjadi pertama kalinya seorang perempuan berjalan melintasi permukaan satelit kelabu Bumi.
Meskipun demikian, beberapa pihak tetap mengaggap skeptis terhadap misi itu. Ragu bahwa hal tersebut akan terjadi.
Meskipun ambisius, namun NASA menghadapi tantangan dalam hal waktu, terutama lantaran Kongres belum menandatangani anggaran terbaru yang diminta oleh Donald Trump --yang mencakup dana tambahan US $1,6 miliar-- untuk NASA pada tahun ini (dan kemungkinan miliaran dolar setiap tahun sesudahnya).
Selain pembiayaan dasar, misi "Artemis" juga akan membutuhkan roket paling kuat yang pernah dirancang, sistem peluncuran terbaru, pendekatan baru untuk sistem pendaratan Bulan, sebuah stasiun yang bisa melayang di antara Bumi dan Bulan (yang saat ini tidak ada), serta kostum astronaut baru yang khusus dipakai di Bulan.