Sukses

Kaum Muda Jerman Berlomba Mengisahkan Toleransi dan Kearifan Budaya Indonesia

Adu kecakapan berbahasa Indonesia dalam lomba pidato digelar di Rumah Budaya Indonesia di Berlin, Jerman.

Berlin - Sembilan pemuda Jerman dari berbagai kota adu kecakapan berbahasa Indonesia dalam lomba pidato yang digelar di Rumah Budaya Indonesia di Berlin. Toleransi jadi topik utama acara peringatan hari lahir Pancasila itu.

Lantunan musik keroncong membuka acara, waktu menunjukkan pukul 14.00 waktu setempat. Peserta telah bersiap menanti giliran. Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Dr. Havas Arif Oegroseno pun membuka perlombaan.

"Indonesia adalah negara yang sangat beragam. Penjajahan Belanda mempersatukan Indonesia dari perbedaan agama, suku, bahasa, dan budaya. Faktor pemersatu atau united factor adalah bahasa,” jelasnya, sebagaimana dikutip dari DW pada Kamis (6/6/2019).\

Perlombaan pidato pun segera dimulai. Tiga juri yakni Santika Oegroseno, Dr. Dimas Abdirama, dan Iwa Sobara siap memberikan penilaian. Struktur, isi, ketepatan tata bahasa, kelancaran, jeda, gestur atau mimik, volume suara, hingga waktu menjadi fokus penilaian.

Saat Toleransi jadi Kata Kunci

Raphael Kunert (27) lewat pidatonya turut berbagi pengalaman pribadinya merasakan toleransi di Indonesia, selama lima bulan tinggal di Yogjakarta. "Saya pikir teman Indonesia saya menunjukkan toleransi kepada saya karena saya bisa merayakan hari raya Idul Fitri dengan dia dan keluarga dia.

Semua orang di keluarga itu menunjukkan toleransi kepada saya karena saya bisa merayakan hari raya Idul Fitri dengan mereka walaupun saya adalah seorang bule dan itu (Idul Fitri) bukan tradisi saya, bukan agama saya.”

Ada juga yang berkisah tentang toleransi lewat perjalanan sejarah di Indonesia, seperti Dennis Pohl (27) dari Universitas Hamburg.

"Bayangkan kita sedang berada di Masjid Istiqlal, Jakarta, masjid terbesar di Asia Tenggara. Soekarno, Presiden Indonesia saat itu membuat sayembara rancang bangun Masjid Istiqlal. Sayembara ini dimenangkan oleh Friedrich Silaban, seorang artsitek penganut agama Kristen," jelas Dennis tentang toleransi di Indonesia.

Ragam sudut pandang tentang toleransi pun disajikan oleh para peserta debat lain yaitu Rebekka Blessenohl (24) dari Universitas Georg-August, Leoni Kress (25) dari Universitas Hamburg, Nico Auer (24), Niklas Fricke (25) dan Samira Werner (21) dari Perguruan Tinggi kota Konstanz.

2 dari 3 halaman

Ada Bawang Putih juga Dara Mahkota

Seusai tujuh peserta berlaga dalam kompetisi pidato dengan tema toleransi. Saatnya mendengar muda-mudi Jerman mendongeng dalam Bahasa Indonesia. Dua kontestan dalam lomba bercerita ini adalah Olivia Morawiec (28) dan Jasper Totschnig (21).

Dengan fasihnya Olivia mendongeng 'Bawang Merah dan Bawang Putih', tak lupa dengan keunikan logatnya, ia pun menirukan suara sang Ibu Tiri, ”Anak jelek, Bawang Putih! Kenapa kau hilangkan bajuku?”.

"Saya memilih 'Bawang Merah Bawang Putih' karena untuk saya ini seperti perpaduan dua dongeng Jerman Frau Holle (Ibu Holle)dan Aschenputtel (Upik Abu),” jelas Olivia saat ditanya soal pilihan dongengnya.

Jasper Totschnig punya sentuhan yang berbeda, Ia tampil dengan dandanan lengkap ala Papua dan membawa gambar-gambar pendukung. Bersemangat, ia pun memukai hadirin dengan kisah dongeng Kasuari dan Dara Mahkota. "Krekkk! Dara mahkota menjerit kesakitan!”

 

3 dari 3 halaman

Antusiasme Belajar Bahasa Indonesia

Raphael Kunert dan Olivia Morawiec yang berasal dari Perguruan Tinggi Konstanz, berhasil memenangkan kompetisi.  Baik Raphael juga Olivia membutuhkan dua minggu untuk berlatih.

Mata kuliah bahasa Indonesia memang telah diberikan di Perguruan Tinggi Konstanz  selama dua hingga tiga semester.

"Saya mengambil Studi dan Manajemen Asia di Perguruan Tinggi Konstanz, (jurusan) ekonomi dan bahasa. Saya pikir ekonomi di Indonesia dan Asia Tenggara akan bagus dan bisa berkembang. Jadi saya termotivasi belajar bahasa Indonesia,” ujar Raphael.

Meski sering mengalami kesulitan dengan kalimat pasif juga awalan dan akhiran kata dalam bahasa Indonesia, Olivia tidak menyerah belajar bahasa Indonesia, "Indonesia itu negara besar dengan banyak budaya, menarik sekali! Saya pun pergi ke sana dan senang sekali berbicara dengan orang di sana. Kalau tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka tidak mengalami (interaksi) langsung dan seperti ada tembok pemisah,” jelas Olivia.

Penilaian pemenang cukup sulit diputuskan oleh dewan juri, terutama saat seluruh peserta begitu serius dan memberikan usaha terbaik. Bagaimana peserta memikat atensi penonton menjadi nilai tambah dari para juri.

"Bagi penutur asing yang baru belajar bahasa Indonesia dan waktu tinggal di Indonesiayang terbatas sangat bisa diapresiasi. Kontennya sendiri juga sangat dalam, mereka punya argumen juga kritik serta contoh konkret di dalamnya,” ujar Ketua Dewan Juri, Dimas Abdirama.