Liputan6.com, Hong Kong - Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengatakan ia tidak akan membatalkan RUU Ekstradisi yang kontroversial, meskipun ada protes massal yang dihadiri ratusan ribu orang. Ia menilai, RUU justru memberikan manfaat bagi wilayah eks-koloni Inggris itu.
Pada Minggu 9 Juni 2019, ratusan ribu orang berunjuk rasa menentang Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 yang dikhawatirkan para kritikus dapat memungkinkan China untuk meminta untuk mengekstradisi lawan politik di wilayah tersebut dan membawanya untuk diadili di Tiongkok daratan.
Advertisement
Baca Juga
Dalam penjelasannya pada Senin 10 Juni, Lam bersikeras bahwa hukum itu perlu dan mengatakan perlindungan hak asasi manusia sudah ada, demikian seperti dikutip dari keterangan pers tertulis yang diterima Liputan6.com dari Hong Kong Economic and Trade Office Jakarta (HKETO Jakarta), Selasa (11/6/2019).
"Kami sudah mendengar sejumlah masukan dari berbagai sektor ... terutama terkait perlindungan HAM, dan hal itu sekarang sudah dibahas oleh para pemangku kepentingan, dan kami akan terus melakukannya," jelas Lam kepada reporter di Hong Kong pada 10 Juni 2019.
Lam mengatakan bahwa pada area HAM, pemerintahannya tengah berusaha untuk membentuk 'pengaman' tambahan, "bahkan hingga menyerupai standar Konvensi Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (ICPR) serta memiliki ketetapan hukum yang mengikat."
"Kami (juga) akan meminta pihak yang meminta ekstradisi untuk memenuhi penjaminan hak asasi manusia sebelum penyerahan tahanan dilakukan," ujarnya.
Perihal yurisdiksi ekstradisi, Carrie Lam juga mengatakan bahwa pemerintah Hong Kong masih terus memperbaiki berbagai sektor, yang dinilai para kritikus, berpotensi menimbulkan celah untuk pelanggaran.
"Semua ini merupakan faktor penting untuk menjamin good governance di Hong Kong," kata Lam.
Simak video pilihan berikut:
Cegah Hong Kong Jadi Safe Haven Buron Kriminal
Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam menyebut RUU Ekstradisi itu akan membantu wilayah semi-otonomi China tersebut untuk menegakkan keadilan dan memenuhi kewajiban internasionalnya dalam hal mencegah Hong Kong sebagai lokasi safe haven para buron kriminal internasional.
Ia menambahkan bahwa negara-negara demokrasi Barat selama ini menuduh Hong Kong gagal menangani masalah-masalah seperti pencucian uang dan pendanaan teroris. Dan RUU itu, nilai Lam, merupkan jawaban atas kritik tersebut.
"Ada kekurangan dan kesenjangan yang parah dalam sistem kami saat ini untuk menangani kejahatan lintas batas dan kejahatan lintas negara. Ada bidang yang sangat sulit untuk dipahami, seperti, mengapa Hong Kong tidak dapat memiliki bantuan hukum timbal balik mengenai masalah pidana dengan tetangga terdekat kita, yaitu Daratan Tiongkok, Taiwan dan Makau?"
"Kita harus menutup celah itu dan memperbaiki kekurangan itu untuk keuntungan jangka panjang, karena tidak ada yang ingin Hong Kong menjadi tempat pelarian para buronan; tidak ada yang ingin melihat orang-orang Hong Kong melakukan kejahatan di luar Hong Kong dan kemudian kembali ke Hong Kong seolah-olah mereka tidak melakukan kesalahan. Jadi, pekerjaan ini harus terus dilakukan."
Lam juga mengatakan, diizinkannya protes hari Minggu menunjukkan komitmen Hong Kong yang berkelanjutan untuk kebebasan rakyatnya. Dia membantah bahwa dirinya telah menerima mandat dari Bejing terkait RUU.
"Saya belum menerima instruksi atau mandat dari Beijing untuk melakukan RUU ini," katanya yang menambahkan bahwa hal tersebut hanyalah tuduhan semata.
"Hati nurani kami jelas, dan komitmen kami untuk Hong Kong."
Advertisement
Picu Sentimen Negatif pada China?
RUU kontroversial, yang memungkinkan terdakwa kasus kriminal diekstradisi ke China daratan, telah mendorong bekas koloni Inggris itu ke pergolakan politik terbesarnya dalam beberapa tahun terakhir.
Sebuah demonstrasi untuk memprotes tindakan itu menarik ratusan ribu warga Hong Kong ke turun ke jalan pada Minggu 9 Juni 2019 dan berlanjut hingga Senin, serta diperkirakan akan terus ada hingga rapat dengar pendapat RUU dilakukan pada 12 Juni mendatang
Mereka terdiri dari para warga kelas menengah Hong Kong, yang memiliki tingkat pendidikan tinggi namun bersaing dengan meroketnya harga rumah dan upah yang minim.
Demonstran menyuarakan kekhawatiran yang telah lama mereka anggap remeh: bahwa seiring waktu, Beijing akan memperketat kontrol atas Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong sejak serah terima dari Inggris ke China pada 1997.
Para pengkritik RUU tersebut melihat produk hukum itu sebagai bagian dari erosi kebebasan sipil mereka --yang sejak lama dipandang sebagai keuntungan dan pembeda utama Hong Kong dari daratan Tiongkok.