Liputan6.com, Hong Kong - Warga Hong Kong berduyun-duyun turun ke jalan selama 10 hari terakhir. Mereka menuntut dibatalkannya RUU Ekstradisi yang memungkinkan masyarakat wilayah otonom itu dibawa ke China daratan untuk dituntut dan diadili.
Diklaim oleh demonstran sebagai salah satu protes terbesar dalam sejarah Hong Kong, gerakan massa ini memiliki keunikannya tersendiri. Berbeda dengan Umbrella Movement - secara harfiah berarti "Gerakan Payung" pada 2014, massa aksi kali ini lebih berani dalam menghadapi risiko pembalasan aparat kepolisian.
Advertisement
Baca Juga
Setidaknya terdapat dua hari di mana protes yang menerjunkan massa dengan jumlah luar biasa, yakni Minggu pada pekan lalu, dan tujuh hari sebelumnya. Pada 9 Juni, sekitar satu juta warga Hong Kong kompak longmars menentang amandemen UU kontroversial itu. Satu minggu setelahnya, 16 Juni, dua kali lipat lautan manusia kembali memenuhi jalanan dan gedung pemerintahan.
Tidak hanya besar dalam konteks jumlah massa aksi, gerakan massa yang menuntut batalnya RUU ekstradisi ini memiliki empat keunikan berikut.
1. Tidak Ada Sosok Pemimpin Tunggal
Demonstrasi besar-besaran di Hong Kong dengan ratusan ribu, bahkan jutaan orang turut serta memiliki pola yang khusus. Gerakan massa ini tidak memunculkan satu tokoh sentral yang bertindak sebagai pemimpin.
Tentu, hal itu sangat berbeda dengan protes serupa yang terjadi di sejumlah negara. Tak jarang demonstrasi digelar oleh aliansi dari berbagai kelompok masyarakat, namun tetap terdapat satu atau beberapa orang yang difigurkan sebagai pemimpin.
Dalam konteks Hong Kong, tetap ada sejumlah aktivis yang berperan sebagai agitator demonstrasi. Tak hanya menjadi "pemantik" protes, mereka juga mengingatkan massa untuk pulang dan menjaga keselamatan. Banyak di antara mereka adalah pria muda.
Dalam sebuah aksi protes yang berlangsung malam hari, Al Jazeera mengabarkan terdapat seorang muda yang membawa pengeras suara melewati kerumunan. Ia meneriakkan, sudah saatnya warga untuk pulang dan beristirahat.
Saran itu diikuti, dengan puncaknya pukul 1 pagi, hanya terdapat polisi dan segelintir warga sipil yang masih ada di jalan.
Namun, nampaknya ia bukan satu-satunya tokoh sentral dalam protes.
Pada hari Senin, Wong, yang telah dipenjara karena perannya dalam Gerakan Payung 2014, dibebaskan.
"Halo dunia dan halo kebebasan," twitya. "Aku baru saja dibebaskan dari penjara."
Aktivis Hong Kong yang terkenal itu telah melewatkan dua demonstrasi yang memecahkan rekor. Tanpa basa-basi ia segera ikut serta dalam protes melawan RUU ekstradisi, termasuk menuntut Lam agar mengundurkan diri.
Meski demikian, ia tampaknya kurang berpengaruh dibandingkan dengan protes 2014, kata kontributor Al Jazeera Lynn Lee.
Wong juga berjanji untuk bergabung dengan pertarungan yang sedang berlangsung. Tapi dia sepertinya kurang berpengaruh dibandingkan pada 2014. Saat itu dia baru berusia 17 tahun dan menghadapi protes Hong Kong.
Saat ini, ia adalah satu dari banyak aktivis dalam gerakan massa tanpa pemimpin.
Advertisement
2. Siap dengan Pertahanan Sipil
Protes di Hong Kong bukanlah tanpa persiapan yang matang. Para pengunjuk rasa kompak dengan atribut pertahanan diri jika sewaktu-waktu mereka "ditertibkan" oleh pihak berwenang.
Bukan senjata tajam, apalagi senjata api.
Pengunjuk rasa cukup dengan mengenakan topeng dan kacamata yang dapat mencegah mata mereka dari pedihnya semprotan merica. Payung menjadi pelengkap demonstrasi, yang berfungsi untuk perlindungan tak terkecuali dari sengatan Matahari.
3. Menghindari Penyerangan Aparat
Isaac Cheng, salah satu aktivis dalam protes, menggambarkan gerakan massa di Hong Kong itu sebagai gerakan yang didorong oleh "pengunjuk rasa independen", tidak terkait dengan organisasi mana pun.
Ia dan kelompoknya percaya bahwa demonstrasi itu adalah upaya perlawanan tanpa kekerasan.
Meski demikian, bentrokan juga sempat terjadi antara polisi dengan beberapa massa aksi, yang disebut oleh Carrie Lam sebagai "perusuh". Namun masyarakat kemudian menuntut sang pemimpin Hong Kong untuk meminta maaf atas pernyataannya itu.
Cheng sangat berhati-hati untuk tidak mengkritik beberapa taktik yang lebih radikal yang digunakan oleh sejumlah demonstran.
"Kami tidak akan menghakimi orang lain jika pengorbanan mereka adalah untuk Hong Kong," kata Cheng, dikutip dari Al Jazeera.
Advertisement
4. Nyanyikan Lagu Gereja dengan Damai, Targetkan Nurani Polisi
Hal unik terakhir dalam protes Hong Kong yakni, puluhan ribu pemrotes menyanyikan lagu kebaktian gereja. Mereka melantunkan nyanyian berjudul "Sing Hallelujah to the Lord" kepada polisi berwajah batu.
Demonstran itu bertujuan melakukan perlawanan dengan damai, menargetkan nurani pihak kepolisian.
Sementara itu, seniman dan akademisi memulai aksi mogok makan.
Protes di Hong Kong ini dijawab oleh dua kali permintaan maaf oleh sang pemimpin eksekutif Carrie Lam, dengan RUU ekstradisi berpeluang untuk digagalkan setelah ungkapan maafnya yang terakhir.
Meski demikian, Lam sama sekali tidak menyebut akan mencabut undang-undang kontroversial itu. Termasuk pula tak akan mengundurkan diri dari jabatannya.