Sukses

Begini Rasanya Makan Seperti Pengungsi Suriah di Yordania

Ration Challenge mengajak warga Australia untuk mengkonsumsi makanan dengan jenis dan jumlah yang sama seperti yang diterima pengungsi Suriah di Yordania selama sepekan.

Liputan6.com, Melbourne - Tantangan makan seperti pengungsi Suriah di Yordania bukan soal lapar, tetapi mengingatkan pentingnya bersyukur atas apa yang kita miliki dan dapatkan sekecil apapun itu.

Wartawan ABC Indonesia Erwin Renaldi, dalam kisah yang Liputan6.com kutip Minggu (23/6/2019), mencoba melakukannya selama Pekan Pengungsi yang tahun ini dilangsungkan di Australia antara 16-22 Juni 2019.

Saat pertama kali mengikuti tantangan 'Ration Challenge Australia' dan melihat isi kotak bahan makanan, saya tidak yakin akan bisa melakukannya.

Ration Challenge mengajak warga Australia untuk mengkonsumsi makanan dengan jenis dan jumlah yang sama seperti yang diterima pengungsi Suriah di Yordania selama sepekan.

Saat pertama kali membuka kardus kecil yang dikirim lewat pos, sempat terpikir bagaimana saya bisa bertahan selama tujuh hari dengan bahan makanan yang bisa dikatakan nyaris sedikit.

420 gram beras, 170 gram lentil, 85 gram chickpeas – yang dikenal di Indonesia sebagai kacang Arab, sekaleng ikan sarden, 300 ml minyak goreng, dan 400 gram kacang merah yang juga dalam kemasan kaleng.

Tantangan ini digagas yayasan Act For Peace, tepatnya oleh Kaz McGrath and Ben Litllejohn dan sudah digelar setiap tahunnya di Australia, saat Pekan Pengungsi berlangsung 16 - 22 Juni.

Keduanya terinspirasi untuk merasakan hidup seperti pengungi selama seminggu setelah berkunjung ke kamp pengungsi Mae la di perbatasan Thailand dan Myanmar.

Mereka bertemu dengan seorang ayah yang pernah melarikan dari kampungnya setelah dibakar oleh militer Myanmar. Pria tersebut kemudian menunjukkan persediaan makanan yang dikirim ke kamp-nya setiap pekan dan mengaku merasa lapar setiap malam.

Salah satu alasan saya tertarik untuk mengikuti tantangan ini pun cukup sama, ingin merasakan hidup seperti pengungsi, setidaknya dari apa yang mereka alami di kamp pengungsi.

Tapi tentu saja masih banyak aspek-aspek 'kemewahan' yang tetap bisa saya dapatkan, seperti tidur dengan nyaman, memiliki beragam pilihan pakaian untuk menyesuaikan cuaca yang saat ini sedang musim dingin di Melbourne.

2 dari 3 halaman

Menggalang Dana untuk Garam

Selain sekardus bahan-bahan makanan, peserta tantangan juga mendapatkan tips dan buku resep, untuk mendapatkan ide-ide masakan apa yang bisa dibuat.

Misalnya membuat bubur, tentu saja dengan kandungan air yang banyak sehingga sangat cair.

Selama beberapa hari juga saya memaksa memakan sup lentil dan sup kacang, kerupuk yang dibuat hanya dari tepung, dan chickpeas yang dipanggang di dalam oven.

Bagi saya, makanan yang paling mewah adalah nasi dan ikan sardine yang digoreng dengan minyak dan sedikit garam.

Mungkin Anda bertanya, mengapa bisa ada garam? Bukankah tidak ada bumbu-bumbu yang diberikan di paket bahan makanan tersebut?

Salah satu tujuan dari tantangan ini juga adalah untuk menggalang dana yang nantinya akan diberikan untuk membantu para pengungsi asal Suriah yang kini tinggal di kamp pengungsian di Yordania.

Jika saya bisa menggalang dana hingga $250 maka saya diperbolehkan untuk menambah garam di makanan.

Bagi peserta yang merasa kesulitan melanjutkan, maka mereka bisa memberikan $50 sehari ke halaman penggalangan dananya sendiri.

Dalam sebulan saya berhasil menggalang dana lebih dari $380, atau lebih dari Rp 3,8 juta, setelah saya mempromosikannya di akun Facebook.

3 dari 3 halaman

Perut Keroncongan dan Terkadang Pusing

Untungnya saat Pekan Pengungsi berlangsung, saya baru saja menyelesaikan ibadah puasa di bulan Ramadan, sehingga nafsu makan belum kembali normal.

Rasa lapar masih bisa diatasi dan saya pun masih memiliki pola makan yang sama seperti di bulan Ramadan, yakni dua kali di pagi dan malam hari.

Saya lebih 'tersiksa' karena makanan yang nyaris tidak ada rasanya, selain membuat perut yang berbunyi di siang hari dan satu-satunya yang dilakukan adalah minum air putih.

Rasa pusing juga kadang saya alami, biasanya di malam hari, terlebih di pekan yang sama saya juga memiliki flu dan batuk. Untungnya saya masih bisa meminum teh hangat, karena setiap kita mengirim pesan kepada orang lain untuk minta dukungan, kita boleh minum segelas teh.

Di Facebook group peserta lain mengeluhkan beratnya tantangan ini terlebih banyak di antara mereka yang melakukannya sendirian di keluarganya, dan mendapat banyak godaan dari makanan lain yang disiapkan untuk anggota keluarganya.

Pernah ada pula yang mengaku sulit buang air atau bahkan merasa kurang nutrisi hingga harus menghentikan tantangannya.

Mungkin bagi saya rasa lapar bukan menjadi masalah paling utama, tetapi pengalaman ini benar-benar membuka mata saya soal kondisi para pengungsi.

Tahun lalu, lebih dari 70 juta orang yang dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka karena perang, konflik, hingga menjadi korban penganiayaan.

Lebih dari 25 juta orang diantaranya keluar dari negaranya, dan mereka ini yang dikategorikan sebagai 'refugee' atau pengungsi.

Selama sepekan ini saya diingatkan kembali soal pentingnya bersyukur, bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami tidaklah seberat yang dirasakan para pengungsi.

Tidak saja kebebasan mereka dirampas, bahkan kehidupan mereka dibatasi oleh sesama manusia sendiri.

Mungkin juga menjadi saatnya bagi kita untuk lebih menghargai apa yang kita miliki saat ini, sedikit apapun.

Karena tanpa garam, makanan akan terasa sangat hambar.