Liputan6.com, Jakarta - Kelompok pegiat hak asasi manusia Human Rights Watch, meminta para pemimpin Asia Tenggara untuk meninjau kembali pendekatan mereka terhadap krisis pengungsi Rohingya. Seruan itu datang di tengah pelaksanaan KTT ASEAN ke-34 di Bangkok, Thailand pada 20 - 23 Juni 2019.
Isu Rohingya dibahas dalam berbagai agenda KTT ASEAN, termasuk sesi pleno para pemimpin negara hingga pertemuan bilateral.
Advertisement
Baca Juga
Namun, beberapa pegiat hak asasi manusia telah mengkritik pertemuan pemimpin 10 Negara Asia Tenggara itu karena cenderung 'lunak' --kritik yang mungkin merujuk pada prinsip non-intervensi yang dimiliki ASEAN-- dalam membahas salah satu krisis kemanusiaan terparah dewasa ini, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu (23/6/2019).
Myanmar menganggap Rohingya yang mayoritas Muslim sebagai imigran tak berdokumen dari anak benua India dan telah mengurung puluhan ribu orang di kamp-kamp di Negara Bagian Rakhine sejak kekerasan melanda daerah itu pada 2012.
Kemudian, pada 2017, lebih dari 700.000 Rohingya menyeberang ke Bangladesh pada setelah tindakan keras oleh militer Myanmar yang dipicu oleh konflik bersenjata melawan militan Arakan-Rohingya.
Kritik Terhadap KTTÂ ASEAN 2019
Tahun lalu, pada KTT 2018, pembahas krisis Rohingya oleh ASEAN sebagian besar berfokus pada masalah pemulangan pengungsi (repatriasi) dari Bangladesh (negara lokasi kamp-kamp-kamp pengungsi Rohingya saat ini) ke Rakhine, Myanmar (negara asal Rohingya). KTT ASEAN 2018 juga memperlakukan "situasi kemanusiaan" di Rakhine Myanmar hanya sebagai "masalah keprihatinan" dan mengabaikan kejahatan pemerintah terhadap kemanusiaan, kata HRW.
Menanggapi KTT 2019, Human Rights Watch menilai bahwa "ASEAN berniat untuk membahas masa depan Rohingya tanpa mengutuk --atau bahkan mengakui-- kampanye pembersihan etnis yang dilakukan Myanmar kepada mereka," kata Brad Adams, Direktur Kawasan Asia HRW, dikutip pada Minggu (23/6/2019).
Pada KTT 2019, Emergency Response and Action Team ASEAN (ERAT) menghasilkan "penilaian awal" tentang repatriasi bagi sekitar satu juta pengungsi Rohingya yang sekarang di Bangladesh.
Laporan setebal 56 halaman itu, yang diperoleh oleh Human Rights Watch, dikembangkan tanpa masukan dari para pengungsi Rohingya dan hampir seluruhnya mengabaikan kekejaman pemerintah Myanmar yang menyebabkan pemindahan massal. Dokumen itu bahkan tidak menggunakan istilah "Rohingya," yang seakan menyangkal identitas diri kelompok itu.
"Fokus ASEAN selanjutnya pada proses repatriasi --seperti yang ditunjukkan dalam laporan ERAT-- mengabaikan situasi di lapangan, menetapkan tolak ukur yang tidak realistis untuk menilai kemajuan Myanmar, dan gagal mengidentifikasi akar penyebab krisis yang perlu diselesaikan sebelum para pengungsi dapat kembali pulang secara aman dan bermartabat," lanjut HRW.
Laporan ERAT mengatakan bahwa tujuan mereka adalah "untuk menilai kesiapan Pusat Penerimaan dan Transit, termasuk lokasi relokasi yang potensial yang telah diidentifikasi oleh Pemerintah Myanmar," tetapi mencatat bahwa ada atau tidaknya syarat-syarat untuk repatriasi adalah "di luar cakupan" dari penilaian.
Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) menanggapi kritik terhadap kelalaian itu dengan mengklaim bahwa bidang keahlian dan mandat ERAT hanyalah "manajemen bencana … dan kami tidak bisa melampaui mandat kami. "
Laporan itu juga tidak membahas tantangan baru yang dihasilkan dari pertempuran antara militer dan militan Arakan yang telah menggusur lebih dari 35.000 etnis Rohingya dan etnis lain di Rakhine sejak Januari 2019.
"Penyusunan draf ASEAN atas penilaian repatriasi tanpa menangani masalah hak-hak fundamental menunjukkan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan populasi yang terkena dampak," kritik HRW.
Advertisement
Respons Ketua ASEAN
Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai, yang negaranya memegang keketuaan ASEAN tahun ini, menepis kritik bahwa Asia Tenggara mengabaikan tindakan Myanmar soal Rohingya. Namun, pada saat yang sama, ia mengatakan bahwa ASEAN tidak bisa disalahkan secara berlebihan.
"Ini bukan tentang mempersalahkan siapapun," kata Pramudwinai kepada Reuters, dikutip dari Al Jazeera.
"ASEAN tidak di sini untuk menunjukkan siapa yang benar atau salah, kekhawatiran kami adalah ratusan ribu orang Rohingya di kamp-kamp pengungsi, dan harus ada yang mulai mengambil langkah pertama agar mereka bisa kembali."
Pemulangan hanya akan dilakukan atas dasar sukarela, dan dengan persetujuan Myanmar (negara asal Rohingya) dan Bangladesh , katanya.
Di sisi lain, Anggota Dewan Parlemen ASEAN, Eva Sundari mengatakan bahwa 10 Negara Asia Tenggara "perlu berhenti menutup mata terhadap kekejaman Myanmar terhadap Rohingya, dan berhenti memberikan legitimasi pada proses repatriasi."
PBB, Human Rights Watch, serta sejumlah kelompok kemanusiaan dan hak asasi manusia lainnya telah menyimpulkan bahwa kondisi saat ini di Negara Bagian Rakhine tidak kondusif untuk pemulangan Rohingya yang sukarela, aman, atau bermartabat.
Diperkirakan 500.000 orang Rohingya yang tersisa di Myanmar terperangkap dalam kondisi yang mengerikan, dikurung di kamp-kamp dan desa-desa tanpa kebebasan bergerak, tunduk pada penganiayaan dan kekerasan negara yang sedang berlangsung, dan terputus dari banyak layanan kemanusiaan dasar termasuk makanan, perawatan medis, dan pendidikan yang memadai.
"Pemerintah pusat maupun pemerintah Negara Bagian Rakhine dinilai tidak bergerak untuk memperbaiki kondisi atau mengatasi penyebab yang mendasari krisis. Mengembalikan Rohingya ke Myanmar akan mengutuk mereka untuk hidup dalam kekurangan, penindasan, dan mungkin kematian," nilai HRW.
Kata Indonesia dan Malaysia
Bertemu dengan State Counsellor Myanmar Aung San Suu Kyi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-34 ASEAN, Presiden RI Joko Widodo menekankan pentingnya situasi keamanan yang baik di Rakhine, Myanmar, bagi terlaksananya repatriasi pengungsi Rohingya yang sukarela, aman, dan bermartabat.
"Jika situasi keamanan tidak membaik, maka akan sulit repatriasi yang sukarela, aman dan bermartabat dapat dijalankan," ujar Presiden Jokowi dalam keterangannya, dikutip dari Antara.
"Indonesia juga memiliki komitmen tinggi untuk terus memberikan kontribusi bagi penyelesaian isu Rakhine State," ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi juga menekankan mengenai pentingnya segera ditindaklanjuti rekomendasi Laporan Preliminary Needs Assesment (PNA). Indonesia siap untuk kembali berkontribusi dalam tindak lanjut rekomendasi Laporan PNA.
Sementara itu, Malaysia mendesak agar dalang kekerasang terhadap etnis minoritas Rohingya "harus diseret ke pengadilan," demikian seperti dikutip dari The New Strait Times.
Malaysia juga mengatakan pemulangan minoritas dari kamp-kamp pengungsi di Bangladesh yang padat "harus mencakup status kewarganegaraan Rohingya."
Advertisement