Liputan6.com, Hong Kong - Warga Hong Kong akan kembali protes selama pelaksanaan KTT G-20 yang telah dimulai sejak Juma 21 Juli.
Penyelenggara protes telah meminta masyarakat di wilayah otonom itu untuk mengambil bagian dalam pawai untuk membatalkan RUU ekstradisi.
Front Hak Asasi Manusia Sipil (CHRF), yang berada di belakang dua demonstrasi besar-besaran di Hong Kong awal bulan ini, mengatakan pawai akan dimulai di jantung distrik bisnis dan melewati konsulat masing-masing negara anggota G-20.
Advertisement
Baca Juga
"Pada 1 Juli, kita harus mengumpulkan lebih banyak orang untuk memberi tahu Carrie Lam dan pemerintah bahwa kita memiliki lima tuntutan yang sama, yang belum mereka tanggapi," kata wakil ketua CHRF Figo Chan, sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Senin (24/6/2019).
Sementara itu, sekitar 300 orang mengadakan pertemuan di luar gedung Dewan Legislatif Hong Kong pada Minggu malam, 23 Juni 2019.
Sebagian dari mereka membicarakan tentang kebrutalan polisi. Khususnya, tentang tanggapan pihak berwenang pada 12 Juni lalu yang menembakkan gas air mata serta peluru karet untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Polisi mengatakan mereka bereaksi terhadap beberapa di antara kerumunan yang telah melemparkan batu bata dan tiang logam kepada mereka.
Kisah WNI Ikut Demonstrasi di Hong Kong
Yuni dan Michelle bisa jadi potret langka kebersamaan ibu dan anak. Dua perempuan yang tinggal di Hong Kong ini, pekan lalu, kompak turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan mereka atas usulan perubahan perjanjian ekstradisi.
Tanggal 12 Juni 2019, Yuni Sze memutuskan untuk bergabung dengan aksi unjuk rasa di pusat kota Hong Kong.
"Waktu menunjukkan pukul 16.43, begitu keluar dari stasiun Admiralty exit C, puluhan ribu massa tumpah ruah disana. Badan saya gemetar, emosi,marah, semua campur aduk."
"Mata saya perih sekali, nafas terganggu karena baru saja bubuk merica dan gas airmata ditembakkan ke udara," tulis Yuni di akun Facebook pribadinya sehari setelah demonstrasi.
Saat itu, di berbagai sudut pusat kota Hong Kong, Yuni melihat anak-anak muda membagikan perlengkapan seadanya seperti masker,sarung tangan dan air mineral.
"Di sisi lain, saya juga melihat mereka sibuk menarik selang air yang biasanya digunakan untuk menyiram taman untuk membantu demonstran lain membasuh muka mereka yang terkena semprotan bubuk merica maupun gas air mata," lanjut postingan bertanggal 13 Juni yang sudah dibagikan 2800 kali itu.
"Hampir satu jam saya berada di sana. Saya berdiri di atas jembatan. Melihat dua kubu yang membentang, antara polisi beserta pasukan huru-hara yang terpisah jarak sekitar 100 meter dengan para demonstran," sambungnya.
Pekan lalu, selama beberapa hari, ratusan ribu warga Hong Kong turun ke jalan menyuarakan penolakan mereka atas rencana Parlemen setempat untuk mengubah Undang-Undang ekstradisi, yang memungkinkan ekstradisi ke yurisdiksi atau negara mana pun meski tidak memiliki perjanjian, termasuk dengan China, Makau, dan Taiwan.
Dalam catatan ABC Indonesia, ketiga yurisdiksi itu memang sengaja dikecualikan dari perjanjian di masa lalu karena kekhawatiran atas independensi peradilan dan rekor Hak Asasi Manusia (HAM) yang buruk.
Advertisement
Telah Menetap 25 Tahun di Hong Kong
Yuni adalah warga Indonesia yang sudah menetap di pulau kecil China dengan Administrasi Spesial tersebut selama hampir 25 tahun. Ia menikah dengan pria Hong Kong dan berkeluarga di bekas jajahan Inggris itu.
Ia berunjuk rasa karena mengaku terpanggil.
"Panggilan hati nurani. Demi anak-anak Hong Kong, demi generasi penerus kami."
"Karena jika ini disahkan, yang akan sangat merasakan dampaknya adalah anak-anak yang saat ini masih pelajar," tuturnya kepada ABC Indonesia.
Langkah perempuan yang berprofesi sebagai manajer operasional di tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong -Apakabar Plus, ini ternyata diikuti sang putri yang masih duduk di bangku SMA.
Anak perempuan Yuni yang masih remaja, Michelle (16) juga menjadi bagian dari massa demonstran. Putri Yuni bahkan mengikuti unjuk rasa sejak tanggal 9 hingga 16 Juni.
Berbeda dari kebanyakan orang tua, Yuni justru mengizinkan anaknya untuk menjadi bagian dari aksi demonstrasi.
Ia memang tak turun berdampingan dengan sang putri, yang berunjuk rasa bersama teman-teman sekolahnya. Namun sebagai orang tua, ia sempat memantau keberadaan gadis itu.
"Saya enggak ketemu (Michelle). Saya enggak sempat cek WA dia lagi."
"Tahu-tahu waktu jalan pulang ke rumah, sudah mau sampai rumah, ternyata saya segerbong (dengan Michelle) di dalam MTR (kereta bawah tanah," ceritanya kepada ABC Indonesia.