Liputan6.com, Paris - Wanita Muslim di Prancis enggan mematuhi aturan di kolam renang setempat yang melarang muslimah berenang atau melakukan segala aktivitas dengan mengenakan burkini atau pakaian renang tertutup khusus wanita Muslim.
Dalam sebuah aksi protes yang terinspirasi oleh perintis hak-hak sipil Amerika Serikat, Rosa Parks, mereka berenang dengan mengenakan burkini di kolam renang Jean Bronn yang ada di kota Grenoble, pada hari Minggu, 23 Juni 2019.
Désobéissance civique des musulmanes grenobloises pour des piscines publiques qui respectent la liberté de conscience. @_Pourquoi @EricPiolle #burkini #islamoféminisme pic.twitter.com/nyAvjsryKK
— AllianceCitoyenne (@alliancecitoyen) June 23, 2019
Kolam renang tersebut adalah salah satu di antara banyak kolam renang di Prancis yang melarang penggunaan burkini, sebab banyak orang di Negeri Menara Eiffel ini mengaitkan burkini sebagai simbol Islam radikal dan tidak sesuai dengan sekularisme.
Advertisement
Aksi menentang bernama "Operation Burkini" tersebut pertama diluncurkan pada Mei tahun ini oleh anggota kelompok Citizen Alliance of Grenoble untuk membela hak seluruh muslimah.
Lalu, apa yang terjadi di kolam renang?
Setelah berganti pakaian menggunakan burkini, anggota Muslim perempuan di kelompok itu diberitahu oleh penjaga pantai bahwa pakaian renang mereka tidak diperbolehkan di sana.
Meskipun demikian, mereka tetap nekat memasuki kolam dan berenang selama sekitar satu jam, berbaur dengan pengunjung lainnya. Banyak di antara pelanggan yang bersorak dan bertepuk tangan karena menganggap grup aktivis yang bermarkas di Grenoble (wilayah tenggara Prancis) tersebut melakukan tindakan yang berani.
Namun mereka kemudian diinterogasi oleh polisi dan masing-masing didenda sebesar 35 euro karena melanggar aturan, lapor kantor berita France Bleu yang dikutip BBC pada Senin, 24 Juni 2019.
Tanggapan Penyelenggara Protes
Berbicara kepada BBC, dua muslimah yang terlibat dalam aksi protes tersebut, Hassiba dan Latifa, mengatakan mereka harus memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
"Kami hanya ingin bersenang-senang di kolam renang umum, seperti warga lainnya, untuk menemani anak-anak kami kapan pun mereka ingin berenang saat cuaca sangat panas di musim panas," ucap Hassiba.
"Kami harus berjuang melawan kebijakan dan prasangka diskriminatif di Prancis, karena kami sebenarnya kehilangan hak-hak sipil kami untuk mengakses layanan publik dan infrastruktur yang dimiliki oleh pemerintah kota," lanjut Latifa.
Dalam sebuah unggahan Facebook, Citizen Alliance of Grenoble menuliskan langkah itu sebagai bagian dari kampanye yang dimulai pada Mei 2018, dengan petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 600 muslimah. Mereka mendesak Wali Kota Genoble, Eric Piolle, untuk mereformasi aturan yang berlaku di kolam renang umum.
Menanggapi protes hari Minggu tersebut, anggota partai kanan-tengah Prancis, The Republicans, Matthieu Chamussy, mengemukakan pandangan: "Islam radikal bergerak maju selangkah demi selangkah dan menyebabkan perempuan mengalami kemunduran."
Nouvelle intrusion en maillot couvrant à #Grenoble. Action coup de poing menée ce jour à la piscine Jean Bron. Le règlement municipal n’est plus appliqué, l’islamisme politique avance pas à pas, la cause des femmes recule. @EricPiolle que faites-vous? pic.twitter.com/CsOuxS05QC
— Matthieu Chamussy (@m_chamussy) June 23, 2019
Burkini, perpaduan dari kata "burka" dan "bikini", dipasarkan untuk wanita Muslim sebagai cara bagi mereka untuk berenang di depan umum. Pakaian renang tertutup ini diproduksi agar para muslimah bisa tetap menjalankan ajaran agama mereka sesuai fatwa Islam.
Tetapi burkini tetap menjadi kontroversial di Prancis, di mana pihak berwenang di beberapa kota telah mengusulkan pelarangan total untuk kostum tersebut.
Sementara itu, pada tahun 2010, Prancis menjadi negara pertama di benua Eropa yang melarang penggunaan cadar di tempat-tempa depan umum.
Advertisement
Siapa Rosa Parks?
Rosa Parks adalah wanita yang mengilhami kampanye "Operation Burkini", dia ditangkap karena menolak menyerahkan kursinya untuk penumpang kulit putih di Montgomery, Alabama, pada tahun 1955.
Kongres Amerika Serikat kini mengenangnya sebagai "ibu negara hak-hak sipil" dan "ibu dari gerakan kebebasan".
Pada saat itu, warga berkulit hitam diharuskan membayar uang kas di depan bus, berjalan ke belakang kendaraan dan baru diperbolehkan masuk bus.
Mereka juga diwajibkan memberikan tempat duduk mereka untuk penumpang kulit putih, jika bus mulai penuh.
Protes Parks kemudian memicu boikot bus dan akhirnya menyebabkan segregasi rasial pada bus-bus di AS.