Liputan6.com, Washington DC - Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah mengumumkan sanksi baru terhadap putra Presiden Venezuela Nicolás Maduro.
Nicolás Ernesto Maduro Guerra (29) yang dikenal sebagai Nicolasito, adalah anggota Majelis Konstituante pro-pemerintah, demikian sebagaimana dikutip dari BBC pada Sabtu (29/6/2019).
Juan Guaido, yang dipandang oleh AS sebagai pemimpin sah Venezuela, mengepalai parlemen saingan yang tidak diakui oleh oleh pemerintah setempat.
Advertisement
Baca Juga
Sanksi itu akan membekukan aset yang dimiliki Nicolasito di AS, dan melarang perusahaan dan individu asal Negeri Paman Sam untuk bekerjasama dengannya.
Mengumumkan langkah itu pada hari Jumat, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin mengatakan mereka menghukumnya karena melayani "rezim tidak sah" ayahnya.
"Rezim Maduro dibangun di atas pemilihan curang, dan lingkaran dalamnya hidup mewah dari hasil korupsi, sementara rakyat Venezuela menderita," kata Mnuchin dalam sebuah pernyataan.
"Maduro bergantung pada putranya Nicolasito dan beberapa orang yang dekat dengan rezim otoriternya, untuk mempertahankan cengkeraman ekonomi dan menekan rakyat Venezuela," lanjutnya.
Pernyataan itu juga menuduh putra Maduro terlibat dalam propaganda dan sensor atas nama pemerintah Venezuela.
Tekanan AS Meningkat
Nicolasito bergabung dengan puluhan orang Venezuela lainnya yang sudah dikenai sanksi ekonomi oleh Gedung Putih.
AS telah meningkatkan tekanan sejak mengakui Juan Guaido sebagai pemimpin sah Venezuela.
Sejak ia mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara pada Januari lalu, Guaido telah memenangkan dukungan lebih dari 50 negara, tetapi masih terus berjuang untuk mengambil alih kekuasaan.
Maduro sebagian besar mempertahankan dukungan militer dan sekutu-sekutu pentingnya, termasuk Rusia dan China.
Â
Advertisement
Venezuela dalam Krisis Parah
Awal pekan ini, pemerintah Venezuela mengklaim telah menggagalkan rencana "fasis" yang didukung internasional untuk membunuh Maduro, klaim yang ditolak Guaido.
Venezuela telah berada dalam krisis ekonomi yang parah selama beberapa tahun, di mana negara itu berjuang menghadapi hiperinflasi, pengangguran tinggi, serta kekurangan pangan dan obat-obatan dalam tingkat kronis.
Sementara itu, sekitar empat juta orang telah meninggalkan negara itu sejak 2015, menurut PBB.