Liputan6.com, Kabul - Taliban diklaim telah meledakkan sebuah bom mobil dengan kekuatan besar di sebuah area di Kabul, Afghanistan, yang terdapat gedung-gedung militer dan pemerintah. Enam belas orang terbunuh, kata kementerian dalam negeri negara itu kepada Al Jazeera yang dikutip pada Selasa (2/7/2019).
Bom meledak saat jam sibuk pada pagi hari, ketika jalan-jalan dipenuhi orang, melukai 105 di antaranya, termasuk 51 anak-anak dan 5 wanita, menurut keterangan dari otoritas pemerintah pada Senin kemarin.
Baca Juga
Mohammad Karim, seorang pejabat polisi yang berada di lokasi serangan, menyebut bom meledak dari sebuah truk bermuatan barang, di luar gedung kementerian pertahanan.
Advertisement
Setidaknya ada 5 militan Taliban di dalam kendaraan tersebut. Tiga di antaranya dilaporkan terlihat berlari ke sebuah bangunan tinggi yang terletak di dekat departemen teknik dan logistik kementerian pertahanan.
Atas serangan ini, polisi kemudian meluncurkan tembakan ke arah mereka dan pertempuran senjata berlangsung lebih dari 7 jam.
"Bentrokan berakhir dengan kematian kelima penyerang," kata juru bicara kementerian dalam negeri Nasrat Rahimi, seraya menambahkan bahwa lebih dari 210 orang diselamatkan selama operasi.
Pengakuan Taliban
Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, kata juru bicara Zabuhullah Mujahid yang mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa kelompok ini menyerang "pusat logistik dan teknik" dari kementerian pertahanan.
Keterangan tersebut lebih lanjut mengatakan, ledakan bom mobil menyebabkan "jatuhnya banyak korban pada sejumlah warga sipil," tetapi sebenarnya sasaran serangan itu adalah militer, bukan penduduk biasa.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), LSM yang bekerja di Afghanistan, dan pemerintah, semuanya mengkritik Taliban karena menyebabkan korban sipil, termasuk anak-anak.
"Saya sedang tidur ketika saya mendengar suara dentuman keras. Segera setelah itu, atap kamar saya ambruk menimpa saya, membuat saya terluka," kata Ikram, seorang saksi mata, kepada Al Jazeera.
"Hanya 100 meter jauhnya, saya melihat dari jendelaku, tentara Taliban mengebom lebih banyak dan menembak pula. Nenek dan ibu saya juga terjebak di bawah puing-puing setelah atap rumah kami menimpa mereka," lanjutnya.
Saksi lain, Ismatullah Amanzai, menyatakan bahwa temannya meninggal dalam salah satu ledakan yang terjadi di dekat garasi rumah dia.
"Saya mencoba meneleponnya ketika ledakan itu terjadi, tetapi dia tidak mengangkat panggilan saya, kami mengetahui dari petugas rumah sakit bahwa dia meninggal karena terluka parah," ujar Amanzai.
Anak-Anak Jadi Korban
Setidaknya 51 anak-anak dari 2 sekolah yang terletak di dekat lokasi ledakan, terluka karena terkena pecahan kaca, kata Nooria Nazhat, juru bicara kementerian pendidikan.
"Anak-anak ini berada di ruang kelas ketika ledakan itu menghancurkan jendela-jendela kaca sekolah. Semua yang terluka dibawa keluar dari sekolah mereka," imbuh Nazhat.
Warga Afghanistan mengecam serangan Taliban tersebut di media sosial, lantaran banyak warganet yang membagikan foto-foto bocah yang terluka.Â
Dalam pernyataannya, kementerian pendidikan menyebut 5 sekolah rusak sebagian, dan meminta "semua pihak yang terlibat dalam pertempuran untuk menjamin keselamatan siswa, guru, dan staf sekolah".
Onno van Manen, Direktur Save the Children's Afghanistan, menegaskan bahwa 80 persen kematian anak terkait konflik di Afghanistan disebabkan oleh senjata peledak.
"Afghanistan adalah salah satu tempat paling berbahaya di dunia untuk seorang anak," ucapnya. "Mereka, sekali lagi, harus menanggung penderitaan ini selama hampir dua dekade konflik di Afghanistan."
Advertisement
Perundingan Damai
Serangan itu terjadi hanya dua hari setelah Taliban memulai perundingan putaran ketujuh dengan Amerika Serikat di Qatar, ketika Washington melihat adanya kesempatan sebelum pemilihan presiden Afghanistan pada September tahun ini.
Kelompok bersenjata itu memiliki kantor politik di ibu kota Qatar, Doha.
Negosiasi sejauh ini difokuskan pada empat masalah, yakni kontraterorisme, kehadiran pasukan asing, dialog intra-Afghanistan dan gencatan senjata permanen.
Bila kesepakatan sah, maka AS harus setuju untuk menarik tentaranya setelah hampir 18 tahun di Afghanistan, namun ini disebut memicu kekhawatiran mendalam di antara banyak warga Afghanistan yang takut bahwa para jihadis Taliban akan kembali ke menguasai negara itu.
Di satu sisi, sebagai gantinya, Taliban akan menjamin Afghanistan agar tidak akan pernah lagi ada konflik dan tidak dijadikan sebagai "kediaman" bagi kelompok-kelompok kekerasan.