Liputan6.com, Hong Kong - Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengutuk demonstran yang menyerbu dan mengobrak-abrik parlemen kota. Dalam sebuah konferensi pers, Lam menyebut protes tersebut "memilukan dan mengejutkan" sambil berharap masyarakat akan "kembali normal secepat mungkin."
Langkah Lam senada dengan surat kabar China tertanggal Selasa, 2 Juli 2019 yang mengatakan tidak ada tolerasi terhadap aksi protes.
Advertisement
Baca Juga
"Karena kesombongan dan kemarahan yang membabi buta, para pengunjuk rasa menunjukkan pengabaian hukum dan ketertiban," tulis Global Times dalam sebuah tajuk rencana yang diterbitkan oleh People's Daily milik Partai Komunis yang berkuasa.
"Masyarakat China sadar bahwa kebijakan tidak adanya tolerasi (zero tolerance terhadap protes Hong Kong-red) adalah satu-satunya solusi untuk perilaku merusak seperti yang disaksikan," lanjut tulisan tersebut sebagaimana dikutip dari Channel News Asia, Selasa (2/7/2019).
Ketegangan dalam gerakan protes yang telah berlangsung berminggu-minggu itu meningkat pada hari Senin. Polisi Hong Kong menembakkan gas air mata pada Selasa pagi untuk membubarkan ratusan demonstran yang telah menduduki badan legislatif kota pada hari peringatan kembalinya Hong Kong tahun 1997 ke pemerintahan Tiongkok.
Saat ini, pemimpin eksekutif Carrie Lam juga telah menampik anggapan bahwa pemerintah belum menanggapi permintaan para demonstran.
"Kami belum menanggapi setiap permintaan yang diajukan karena alasan yan baik," katanya.
Ia menegaskan, RUU ekstradisi telah ditangguhkan tanpa batas waktu.
"RUU itu akan kedaluwarsa atau akan mati pada Juli 2020. Itu adalah respons yang sangat positif terhadap tuntutan," tandas sang pemimpin Hong Kong.
Sementara itu, Lam tampaknya menolak untuk memberikan amnesti kepada semua yang terlibat dalam protes RUU ekstradisi. Ia mengatan hal itu "tidak akan sesuai dengan aturan hukum."
Simak video pilihan berikut:
Kronologi Protes
Demonstran bertopeng - kebanyakan kaum muda yang memakai topi kuning - masuk ke parlemen setelah berjam-jam bentrok dengan polisi.
Mereka menggeledah bangunan itu, memulas dindingnya dengan grafiti anti-pemerintah.
Mereka juga merobek potret para pemimpin kota, mengibarkan bendera era kolonial Inggris di ruang utama dan menyemprot lambang kota dengan cat hitam.
"Tidak ada pengunjuk rasa yang kejam, hanya tirani," kata sebuah spanduk, yang diangkat di atas podium.
"Hong Kong bukan China," tulis spanduk lainnya.
Banyak pengunjuk rasa mengatakan mereka merasa harus mengambil tindakan karena para pemimpin kota telah mengabaikan sentimen publik.
"Kami telah berbaris, melakukan aksi protes duduk ... tetapi pemerintah tetap tidak bergerak," Joey, seorang pemrotes berusia 26 tahun, mengatakan kepada AFP ketika ia berjalan melewati kaca yang pecah di dalam gedung.
"Kita harus menunjukkan kepada pemerintah bahwa kita tidak akan duduk diam di sini dan tidak melakukan apa-apa."
Legislatif akan ditutup pada hari ini, Selasa 2 Juli 2019.
Advertisement
Tanggapan Pemimpin Negara Lain
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan para demonstran itu tengah "mencari demokrasi". Ia menambahkan bahwa "sayangnya, beberapa pemerintah tidak menginginkan demokrasi".
Seorang juru bicara dari Departemen Luar Negeri AS sebelumnya mendesak "semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan".
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengatakan dukungan negaranya untuk Hong Kong dan "kebebasannya tidak tergoyahkan" dan mendesak pengekangan dari pengunjuk rasa dalam komentar yang digemakan oleh Uni Eropa.