Liputan6.com, New York - Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti asal Amerika Serikat mengungkap bahwa wanita kaya paruh baya yang juga menikah dengan pria kaya sering merasa cemas dan bersalah dengan status sosial dan ekonomi mereka.
Dikutip dari laman News.com.au, Jumat (5/7/2019) penelitian ini dilakukan oleh Sosiolog bernama Rachel Sherman, seorang peneliti gaya hidup keluarga di New York.
Sherman ingin mengetahui mengapa istri-istri yang memiliki harta berlimpah sering disebut dengan stereotipe "wanita manja."
Advertisement
Baca Juga
Studi tersebut dilakukan terhadap perempuan yang rata-rata berusia sekitar 30-40 tahun, menikah dengan pria yang bekerja di bidang keuangan dengan gaji Rp 4 miliar sampai dengan Rp 20 miliar atau lebih dalam satu tahun, dan memiliki anak.
Sherman menemukan bahwa wanita kaya membawa beban budaya, etika, dan psikologi mereka terhadap uang. Namun sebaliknya, pasangan mereka tak memiliki masalah tersebut.
Beberapa wanita yang berpartisipasi dalam studi ini sudah memiliki gelar sarjana dan memiliki pengalaman profesional.
Mereka juga ingin menjauhkan diri dari stereotipe "ladies who lunch" -- sebutan untuk wanita-wanita sosialita yang berkumpul di restoran mewah saat makan siang.
Namun, wanita-wanita ini justru sering diserang oleh penilaian negatif tentang kekayaan mereka, dengan pertanyaan yang sering muncul seperti, apakah mereka pantas untuk mendapatkan uang yang banyak dan gaya hidup tersebut.
Berbanding terbalik dengan suami mereka, para wanita tersebut mengatakan bahwa mereka dinilai (negatif) karena melakukan hal-hal yang harus dilakukan untuk mempertahankan gaya hidup keluarganya.
Tugas gender "tradisional" menjadi sorotan utama dalam penelitian tersebut, di mana wanita diharuskan menjadi pengasuh utama bagi anak.
Namun, saat mereka melakukan hal tersebut, tujuan hidup lain mereka, termasuk karier, harus dikurangi, bahkan ditinggalkan.
Dilema Pendapatan Wanita dalam Rumah Tangga
Rasa cemas juga muncul pada wanita-wanita yang bergantung kepada suami dengan pendapatan yang tinggi, di mana suami mereka gagal mengakui kontribusi mereka dalam membangun rumah tangga.
Salah satu wanita yang pernah bekerja sebagai bankir mengatakan bahwa ia harus meninggalkan pekerjaannya tersebut karena adanya pergeseran secara dinamis, setelah suaminya menjadi sumber utama dalam mencari nafkah.
"Saya berpendidikan tinggi dan saya memiliki karier. Kau tahu, ke mana semua itu sekarang?" ujar wanita tersebut.
Wanita lainnya yang bekerja paruh waktu dan tidak berkontribusi dengan uang sebanyak suaminya mengatakan bahwa suaminya menyulitkan dirinya saat menggunakan uang yang disebut sebagai "miliknya", tetapi ia malah membeli apa pun yang ia mau.
Dalam upaya untuk mengurangi pendapat negatif bahwa mereka gemar belanja barang mewah, banyak wanita kaya yang memutuskan untuk membayar sendiri kebutuhan rumah tangga dan anak dari uang penghasilan mereka.
Saat para wanita yang tidak mempunyai penghasilan akan merasa dirinya tak berharga, wanita yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarganya juga melaporkan masalah yang berbeda.
Mereka yang memliki pendapatan lebih banyak dari suami mereka mengatakan bahwa pasangan mereka sering terancam dengan apa yang disebut dengan "kekuatan tak seimbang."
Beberapa dari wanita ini berusaha sebisa mungkin untuk menyamakan ketidakseimbangan tersebut dengan memberikan suami mereka kontrol dalam masalah keuangan dan investasi keluarga.
Advertisement