Liputan6.com, Port Moresby - Kehadiran senjata api otomatis berkekuatan tinggi dan permasalahan pasukan polisi yang tidak memadai, telah memperparah kekerasan suku di Papua Nugini yang mengakar sejak lama, kata lembaga kemanusiaan internasional.
Konsekuensi kemanusiaan konflik antar-suku di negara tetangga terdekat Indonesia itu pun "mirip krisis di Suriah, Irak dan Afghanistan."
Komentar itu datang setelah konflik berujung pembantaian brutal di dataran tinggi di Provinsi Hela pekan ini, demikian seperti dikutip dari ABC.net.au, Kamis (11/7/2019).
Advertisement
Setidaknya 16 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak, tewas di desa Karida pada Senin 8 Juli.
Baca Juga
Itu merupakan satu dari serangakaian konflik suku yang telah berlangsung beberapa dasawarsa terakhir di wilayah pegunungan dan dataran tinggi yang terpencil di negara Pasifik itu.
Polisi mengumumkan jumlah kematian terakhir 18 orang, termasuk bayi yang belum lahir dari dua perempuan yang diyakini tengah mengandung.
Ahmad Hallak, kepala misi untuk Komite Internasional Palang Merah (ICRC) di Papua Nugini, mengatakan kepada ABC bahwa penggunaan senjata api telah menyebabkan lebih banyak masalah dalam perselisihan suku.
"Sudah menjadi rahasia umum bahwa prevalensi senjata modern bak menyiram bensin ke bara api," katanya kepada ABC.
"Kekerasan antar-suku adalah fenomena sejarah; itu sudah berlangsung sejak jaman dahulu. Namun, di masa lalu, menggunakan busur, panah dan tombak, dengan sifat pertempuran yang jauh lebih terbatas."
"Dengan kehadiran senjata modern, kami melihat konsekuensi kemanusiaan yang sangat mirip dengan Irak, Suriah, dan Afghanistan."
Motif di balik pembunuhan masih belum diketahui, meskipun para pejabat menyarankan itu bisa menjadi tindakan pembalasan untuk sengketa suku baru-baru ini yang menewaskan tujuh orang.
"Ini situasi yang tidak menguntungkan," Gubernur Hela Philip Undialu mengatakan kepada ABC.
"Kerabat beberapa orang yang meninggal bertindak main hakim sendiri dan mencoba menyerang musuh sesuka hati. Dan itu telah meningkat menjadi pembantaian perempuan dan anak-anak yang tidak bersalah."
Ribuan orang mengungsi setiap tahun di Papua Nugini karena kekerasan suku.
Ahmad Hallak dari ICRC mengatakan, penargetan perempuan dan anak-anak juga semakin umum dalam konflik kesukuan, di mana pertempuran itu bisa "tak pandang bulu."
"Sayangnya, perempuan dan anak-anak sering bisa menjadi sasaran dan dapat menderita akibat pertempuran suku," kata Hallak.
"Kemungkinan lebih banyak pembantaian seperti ini tinggi."
Dia mengatakan masyarakat Papua Nugini yang terkena dampak kekerasan ingin menghentikannya dan inisiatif lokal membutuhkan dukungan untuk mengatasi akar penyebabnya, seperti: pengangguran, penyalahgunaan narkoba dan kekerasan terkait pemilu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
SDM Aparat Penegak Hukum yang Minim
Kasus itu menyoroti sumber daya manusia yang minim pada institusi kepolisian lokal, dengan Perdana Menteri James Marape mempertanyakan bagaimana sebuah provinsi dengan 400.000 orang hanya memiliki kurang dari 60 polisi.
Marape mengatakan di Facebook bahwa para pelaku dapat menghadapi hukuman mati dan mengeluarkan peringatan kepada para pembunuh: "Saya datang untuk Anda."
Damien Arabagli, kepala Hela Gimbu Association --organisasi masyarakat lokal-- mengatakan bahwa kelompok komunitasnya telah meminta pemerintah untuk menambah jumlah polisi.
Dia menggambarkan para pembunuh sebagai "panglima perang (warlord)" dan mengatakan mereka tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban dengan kehadiran polisi yang sangat sedikit di kawasan itu.
"Aparat tahu siapa (para pembunuh) itu, tapi takut untuk memburu mereka," kata Arabagli.
Advertisement
Minta Bantuan Australia hingga PBB
Royal PNG Constabulary atau Kepolisian Nasiona Papua Nugini, merilis pernyataan melalui Facebook yang menyatakan bahwa tim 30-orang yang terdiri dari tentara dan polisi setempat akan dikirim ke daerah "untuk menghentikan kekerasan lebih lanjut dan menangkap para pembunuh."
Penjabat Komisaris Polisi, Francis Tokura, dikutip dalam posting, menjanjikan untuk melakukan penilaian dan "memutuskan pendekatan jangka panjang untuk mengatasi masalah di Hela."
"Itu adalah sebuah tragedi. Tindakan kriminal yang tidak dapat dipercaya, tidak terpikirkan, dan mengerikan yang harus ditangani dengan cepat dan berat," kata komisioner Tokura seperti dikutip.
"Kami akan menggunakan semua sumber daya yang tersedia untuk membawa para pembunuh ke pengadilan."
Upaya terhambat oleh kurangnya akses jalan ke daerah yang didominasi oleh hutan hujan.
"Polisi memiliki kemauan keras, dengan tentara juga. Tetapi sulit untuk memburu mereka, di mana Anda tidak bisa mendapat jangkauan jaringan ponsel bahkan akses untuk kendaraan," katanya.
Dia meminta negara tetangga Papua Nugini di Pasifik untuk membantu.
"Kami menyerukan intervensi oleh pasukan Australia atau Selandia Baru dan dibantu PBB. Orang-orang menjadi sasaran pembunuhan, ini bukan yang pertama," katanya.
"Kami mengalami pembunuhan yang sama tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya, dan mereka ditutup-tutupi lagi. Ini telah terjadi, dan orang-orang hidup dalam ketakutan."