Liputan6.com, Jakarta - Demonstrasi masih berlangsung di Hong Kong. Setelah berminggu-minggu berlangsung, kerusuhan anti-pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Ribuan orang turun ke jalan-jalan di kota Sha Tin, sebuah kota antara Hong Kong dan perbatasan dengan China, Minggu (14/7/2019). Sejumlah pengunjuk rasa mengibarkan bendera Inggris dan Amerika.
Protes dipicu RUU ekstradisi yang memungkinkan warga Hong Kong dikirim ke Tiongkok untuk diadili. RUU ekstradisi dinilai akan merusak independensi peradilan Hong Kong dan dapat digunakan untuk menargetkan orang-orang yang berbicara menentang pemerintah China.
Advertisement
Tetapi kini tuntutan mereka telah berubah menjadi lebih luas, yakni reformasi demokratis karena kekhawatiran kebebasan Hong Kong semakin berkurang.
[bacajuga:Baca Juga](4006938Â 4006938 4008178)
Hong Kong, bekas koloni Inggris, adalah bagian dari China tetapi dijalankan di bawah pengaturan "satu negara, dua sistem" yang menjamin tingkat otonomi. Hong Kong memiliki peradilan sendiri, dan sistem hukum yang terpisah, dibandingkan dengan daratan China.
Para demonstran di Sha Tin berulang kali menyerukan agar pemimpin Hong Kong Carrie Lam untuk mundur. Sementara, pengunjuk rasa lain membawa spanduk yang menuntut kemerdekaan Hong Kong.
"Saya belum lelah dengan protes itu, kami perlu memperjuangkan hak-hak kami," kata seorang pengunjuk rasa berusia 25 tahun, seperti dilansir BBC.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
RUU Ekstradisi Telah Mati
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang akan memungkinkan ekstradisi ke China daratan "sudah mati".
Dalam konferensi pers pada hari Selasa, Lam mengatakan tugas pemerintah Hong Kong dalam membahas RUU itu telah "gagal total".
Tetapi, sebagaimana dikutip dari BBC pada Selasa 9 Juli, Lam mengatakan keputusan itu tidak ditetapkan sepenuhnya karena tuntutan demonstran.
RUU ekstradisi telah memicu kerusuhan selama berpekan-pekan di Hong Kong, sehinngga mmebuat pemerintah setempat menangguhkan pembahasannya tanpa batas waktu.
"Tetapi, sempat ada keraguan di benak pemerintah apakah akan kembali memproses hal ini di Dewan Legislatif," kata Lam kepada wartawan.
"Jadi, saya tegaskan di sini, tidak ada rencana seperti itu. Pembahasannya sudah mati," pungkasnya.
Hong Kong, bekas koloni Inggris, adalah bagian dari China tetapi dijalankan di bawah pengaturan "satu negara, dua sistem", yang menjamin keberlangsungan otonomi.
Kebijakan ini memiliki peradilan sendiri dan sistem hukum yang terpisah dari China daratan.
Advertisement
Dituding Sebagai Permainan Kata-Kata
Sebelumnya, Carrie Lam pernah mengatakan bahwa RUU ekstradisi "akan mati" pada 2020 mendatang, ketika masa legislatif saat ini berakhir.
"RUU sudah mati adalah deskripsi politik dan itu bukan bahasa legislatif," kata anggota parlemen dari Partai Sipil Alvin Yeung kepada BBC, menambahkan bahwa RUU itu masih dalam proses penilaian kedua secara teknis.
"Kami tidak tahu mengapa kepala eksekutif menolak untuk mengadopsi kata penarikan," tambahnya.
Salah satu tokoh utama gerakan protes, aktivis mahasiswa Joshua Wong, menegaskan kembali tuntutan agar RUU "ditarik secara resmi", dan menuduh Lam menggunakan permainan kata-kata untuk "berbohong kepada orang-orang Hong Kong".
Para kritikus RUU tersebut berpendapat bahwa hal itu akan merusak independensi peradilan Hong Kong, dan dapat digunakan untuk menargetkan orang-orang yang berbicara menentang pemerintah China.