Liputan6.com, Islamabad - Rimsha, gadis Pakistan berusia 27 tahun rela mengakhiri masa lajangnya pada musim semi tahun lalu. Ia menemukan tambatan hatinya, pria China idaman berkat jasa mak comblang. Rimsha berharap, pasangannya mampu membawanya ke dalam kehidupan yang lebih baik.
Foto pernikahan Rimsha, tak ada yang ganjil. Ia mengenakan gaun pengantin putih bersih dengan tiara bersemat di kepalanya. Jari tangannya dan sang suami membentuk hati, dengan tulisan diimbuhkan: "Cinta Tanpa Akhir." Raut mukanya bahagia.
Advertisement
Baca Juga
Suami Rimsha konon cukup mapan. Menurut ibunya, Parveen, sang menantu mengoperasikan sebuah pabrik. Ia yakin setelah agen perkawinan mengatakan hal itu kepadanya. Tak hanya kebutuhan Rimsha yang dipenuhi, perempuan itu dijanjikan dapat mengirim uang ke rumah setiap bulannya.
Impian keluarga mempelai wanita ini sederhana. Mereka hanya ingin mengubah nasib, dari hidup keras sebagai minoritas Kristen di Pakistan.
Sayang, realita tak seindah yang dibayangkan.
"Kami mengira putri kami akan bahagia," kata Parveen kepada Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE / RL) dalam sebuah wawancara baru-baru ini, dikutip Selasa (16/7/2019).
Rimsha yang saat ini masih di China mengaku suaminya telah melakukan kekerasan kepadanya. Tak hanya itu, sang suami secara tidak langsung telah menjualnya. Rimsha, menjadi salah satu korban perdagangan manusia.
"Dia meminta saya untuk melakukan hubungan seks dengan semua teman-temannya ... itu untuk mendapatkan uang. Dia memukuli saya ketika saya menolak. Tolong bantu saya," kata Rimsha dalam video penuh air mata yang dikirim ke keluarganya melalui aplikasi pesan singkat pada awal Juni.
Rimsha adalah satu dari sejumlah wanita Pakistan yang masuk ke dalam jeruji perdagangan manusia bermodus perjodohan. Di antara mereka yang rentan adalah perempuan dari minoritas Kristen negara itu yang datang dari keluarga miskin.
Pihak berwenang Pakistan pada Mei 2019 menangkap lusinan warga negara Pakistan dan China atas tuduhan mengatur pernikahan semacam itu. Beberapa orang yang diduga sebagai korban mengklaim, mereka diancam dengan pengambilan organ-organ mereka jika akan melarikan diri.
Simak video pilihan berikut:
Permintaan di China Sangat Tinggi
Permintaan China terhadap mempelai wanita beda negara sangat tinggi. Hal itu berawal dari kebijakan satu anak yang dicetuskan Beijing beberapa dekade lalu. Mengingat banyaknya warga lebih menginginkan anak laki-laki, terjadi ketidakseimbangan gender yang besar. Alhasil, para pria muda kesusahan mendapat istri.
Saleem Iqbal, seorang aktivis Kristen Pakistan yang telah mempelopori upaya untuk membawa orang-orang yang diduga menjadi korban dari Tiongkok, mengatakan kepada RFE / RL, pemerintah China dan Pakistan tidak melakukan cukup banyak usaha yang berarti. Khususnya, untuk menemukan dan mengembalikan pengantin perempuan yang berakhir menjadi korban perdagangan manusia.
"Investigasi sedang berlangsung, dan akan ada lebih banyak penangkapan," kata Iqbal. Ia menambahkan, sekitar 50 perempuan muda telah dikembalikan dari Tiongkok ke Pakistan.
"Tetapi pemerintah Pakistan dan organisasi hak asasi manusia harus angkat suara dan membawa gadis-gadis itu kembali," lanjutnya.
Saat ini, China adalah mitra keamanan dan ekonomi utama untuk Islamabad. Miliaran dolar AS telah dikucurkan dalam program bernama Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC).
Associated Press mengutip dua pejabat Pakistan yang tidak dikenal, mengatakan pada bulan lalu bahwa pejabat senior di Islamabad telah memerintahkan pihak berwenang untuk tetap membisu tentang masalah perdagangan manusia. Hal itu karena kekhawatiran akan merusak hubungan bilateral dengan Beijing.
Sementara itu utusan Beijing di Islamabad sempat mengatakan kabar itu tidak benar.
"Ini adalah kebohongan bahwa gadis-gadis Pakistan sedang diperdagangkan ke China untuk prostitusi paksa atau penjualan organ," kata utusan Tiongkok melalui Twitter pada beberapa bulan lalu.
Advertisement