Sukses

Boris Johnson Pecat Hampir Setengah Anggota Kabinet PM Inggris Terdahulu, Balas Dendam?

Boris Johnson memecat hampir setengah anggota kabinet PM Inggris terdahulu, di mana oleh para pengamat disebut sebagai balas dendam.

Liputan6.com, London - Sejak kemenangannya di Parlemen Inggris Selasa 23 Juli 2019 lalu, Boris Johnson telah mengisyaratkan tekadnya untuk mempertahankan Brexit.

Hal itu memicu spekulasi tentang jajak pendapat dini, dengan memecat lebih dari setengah anggota kabinet Theresa May.

Dikutip dari The Guardian pada Kamis (25/7/2019), Johnson mengemas timnya dengan para pendukung garis keras dan pihak pro sayap kanan.

Meskipun Boris Johnson kembali menegaskan bahwa ia adalah pendukung kampanye Konservatif satu-bangsa yang populis, namun ia menyerahkan tugas menteri dalam negeri kepada Priti Patel, yang menganjurkan kembalinya hukuman mati pada 2011.

Dominic Raab, yang menjadi pemberitaan utama ketika dia mengatakan tidak akan menyebut dirinya seorang feminis, adalah menteri luar negeri baru, dan akan menjadi juru bicara Johnson.

Jacob Rees-Mogg, ketua Kelompok Penelitian Eropa pro-Brexit, yang memimpin seruan agar Theresa May digulingkan, adalah pemimpin baru House of Commons.

Saingan Johnson di pemilihan parlemen terakhir, Jeremy Hunt, dan para pendukungnya menjadi korban pembersihan tanpa ampun. Hunt sendiri menolak penurunan jabatan dari menteri luar negeri menjadi menteri pertahanan, dan sebagai gantinya memilih kembali ke kubu belakang.

Boris Johnson telah memicu kekhawatiran di antara beberapa rekannya dengan mengumumkan bahwa Dominic Cummings, direktur kampanye kontroversial Vote Leave, akan menjadi penasihat senior dalam pemerintahannya nanti.

Cummings adalah juru kampanye berpengalaman, dan merapatnya dia di kubu Johnson meningkatkan harapan di kalangan anggota parlemen, bahwa pemilihan umum akan digelar dalam beberapa bulan ke depan.

2 dari 3 halaman

Berjanji Memperjuangkan Brexit

Ketika Boris Johnson bersiap untuk masuk ke Gedung Downing Street No. 10 untuk pertama kalinya, setelah kembali dari persetujuan Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham pada hari Rabu, ia berjanji untuk menentang "para peragu, penggangu, dan pemecah belah".

Dia bersikeras akan melakukan "kesepakatan baru" dengan Uni Eropa, tanpa "penghalang anti-demokrasi" dan menyelesaikan Brexit sebelum batas waktu Halloween.

"Kami akan memenuhi janji-janji parlemen yang berulang-ulang kepada rakyat dan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober," katanya.

"Saya memiliki keyakinan bahwa dalam waktu 99 hari kita akan memecahkannya. Tapi tahukah Anda, kami tidak akan menunggu 99 hari, karena orang-orang Inggris sudah cukup menunggu. Waktunya telah tiba untuk bertindak, untuk mengambil keputusan, untuk memberikan kepemimpinan yang kuat dan untuk mengubah negara ini menjadi lebih baik," lanjut Johnson.

Johnson juga membuat serangkaian janji kebijakan satu-bangsa. Dia berjanji untuk merekrut 20.000 petugas polisi, memperpendek waktu tunggu untuk konsultasi kesehatan, menambah fasilitas rumah sakit, dan meningkatkan anggaran pendidikan per murid.

3 dari 3 halaman

Disebut Berhaluan Sayap-Kanan

Sesaat dari Downing Street, Boris Johnson menyeberang ke House of Commons, di mana ia melakukan pembersihan menteri kabinet yang komprehensif, khususnya pada mereka yang mendukung Hunt.

Korban pembersihan lainnya termasuk Menteri Skotlandia David Mundell, Menteri Pendidikan Damian Hinds, dan Menteri Pertahanan Penny Mordaunt.

Dalam menyusun anggota pemerintahan barunya, Johnson beralih ke rekan-rekan Vote Leave yang terpercaya, termasuk Raab, Patel, Theresa Villiers, yang merupakan menteri lingkungan baru, dan Andrea Leadsom, yang akan menjadi menteri bisnis.

Mantan menteri pertahanan Gavin Williamson akan menjadi menteri pendidikan, meskipun telah dipecat oleh Theresa May kurang dari tiga bulan lalu, karena dicurigai membocorkan rahasia keamanan.

Patel juga dipecat oleh May pada bulan Mei, karena mengatur pertemuan pribadi di Israel tanpa memberi tahu para pejabat Inggris.

Para kritikus dengan cepat menyebut pemerintahan baru Johnson sebagai sayap kanan yang fanatik, di mana terakhir kali dialami Inggris pada dekade 1980-an, di periode kedua kepempinan mendiang PM Maragaret Tatcher.