Sukses

Lebih dari Dua Pekan Diprotes Massa, Gubernur Puerto Rico Akhirnya Mundur

Gubernur Puerto Rico Ricardo Rossello mengumumkan pengunduran dirinya setelah dua minggu protes massa.

Liputan6.com, San Juan - Gubernur Puerto Rico Ricardo Rossello, pada 25 Juli 2019, mengumumkan pengunduran dirinya setelah dua pekan protes massa.

Puncak protes, pada Senin 22 Juli 2019 kemarin, menjadi sebuah demonstrasi terbesar dalam sejarah teritori non-negara bagian Amerika Serikat itu.

Demonstran mengutuk Rossello yang dituduh terlibat dalam pusaran skandal pesan teks daring tak senonoh dengan para stafnya.

Teks-teks tuntutan terhadap Pak Gubernur Rosello termasuk penghinaan homofobia, seksis, serta penghinaan tentang korban Badai Maria Puerto Rico yang mematikan pada tahun 2017.

Mengundurkan Diri

"Saya mengumumkan bahwa saya akan mengundurkan diri dari jabatan gubernur efektif Jumat, 2 Agustus pukul 17.00 sore," kata Rossello Rabu 24 Juli 2019 malam waktu lokal, dalam siaran video oleh pemerintah, seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (25/7/2019).

Rossello menunjuk Sekretaris Kehakiman Puerto Rico, Wanda Vazquez sebagai gubernur baru yang menjadi gubernur perempuan kedua di wilayah itu.

Demonstran yang terus bercokol di depan rumah sang eks-gubernur di Old San Juan selama beberapa hari terakhir, bersorak sorai menyambut kabar tersebut.

Rossello, seorang Demokrat yang terpilih pada tahun 2016, adalah gubernur pertama yang mengundurkan diri dalam sejarah modern Puerto Rico, wilayah AS dengan lebih dari 3 juta warga Amerika.

Di bawah konstitusi Puerto Rico, sekretaris luar negeri biasanya akan menjadi gubernur.

Tetapi, karena sekretaris luar negeri Luis Rivera Marín menjadi salah satu dari lebih dari selusin pejabat yang mengundurkan diri selepas skandal kebocoran pesan itu, kepemimpinan pulau itu akan jatuh ke Vazquez.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Presiden Donald Trump Mendukung Publik

Demonstrasi turut bermanifestasi menjadi bentuk kekecawaan publik atas kegagalan kepemimpinan Rossello. Mereka menuduh sang gubernur gagal membangun kembali wilayah itu, yang hancur akibat badai dua tahun lalu.

Ditanya tentang masalah ini, Presiden AS Donald Trump berpihak kepada publik. Ia mengatakan Rossello adalah "gubernur yang mengerikan".

"Ada kepemimpinan yang benar-benar tidak kompeten di puncak Puerto Rico," katanya kepada wartawan di Gedung Putih. "Kepemimpinannya korup dan tidak kompeten."

Krisis politik pulau itu juga telah menjadi berita utama di seluruh daratan AS.

Dewan editorial New York Times menulis bahwa "kebodohan dan sikap mementingkan diri sendiri" yang diekspos oleh pesan-pesan tersebut menjadi tekanan yang terlalu tinggi bagi pulau yang telah lama menderita, secara efektif "menabur garam ke dalam luka yang sudah lama bernanah".

"Orang-orang Puerto Rico tidak menggunakan pertikaian politik kecil," tulis New York Times. "Wilayah mereka sedang berjuang di bawah beban korupsi pemerintah, ketidakmampuan dan ketidakpedulian. Setelah gagal oleh para pemimpin mereka di setiap tingkatan, mereka tidak sabar. Mereka pantas mendapatkan yang lebih baik."

Demikian pula, dewan editorial untuk Washington Post, yang mengatakan bahwa sementara Puerto Rico mungkin menyadari bahwa daratan memperlakukan mereka "seperti warga kelas dua", pesan tersebut adalah bukti bahwa pemerintah daerah mereka juga menganggap mereka dengan jijik.

Dan masalah pulau berjalan jauh lebih dalam daripada skandal Rossello, tulis Post.

"Jelas bahwa masalah pulau itu tidak akan diselesaikan hanya dengan kepergiannya. Diperlukan reformasi yang serius dan sistematis."

Memang, beberapa outlet menggambarkan skandal itu sebagai konsekuensi dari kegagalan mendasar di antara kelas politik Puerto Rico.

"Anda mungkin berpikir protes yang meletus di Puerto Rico adalah tentang skandal SMS pemerintah," lapor CNN. "Tapi masalahnya berjalan lebih dalam."

Dua pekan terakhir "hanyalah puncak dari krisis politik terburuk dalam sejarah Puerto Rico modern", seorang jurnalis untuk NBC menulis .

"Semua disfungsi ini adalah produk dari kelas politik yang korup (kebanyakan berkulit putih) yang telah memerintah pulau itu selama beberapa dekade."