Sukses

Dua Kapal Imigran Terbalik di Lepas Pantai Libya, 150 Orang Diperkirakan Tewas

Dua kapal imigran yang menuju Eropa dilaporkan terbalik di lepas pantai LIbya, dan diperkirakan menewaskan 150 orang.

Liputan6.com, Tripoli - Sebanyak 150 orang dikhawatirkan tewas setelah dua kapal imigran terbalik di lepas pantai Libya pada hari Kamis.

Kapal itu tengah dalam pelayaran ilegal di perairan Mediterania menuju pesisir Italia selatan, ketika beberapa gelombang cukup besar menggoyahkan lajunya.

Jika perkiraan jumlah korban tewas benar adanya, maka itu akan menjadi yang tertinggi dari serangkaian insiden serupa di Mediterania tahun ini, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (26/7/2019).

Ayoub Gassim, juru bicara penjaga pantai Libya, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa dua kapal yang membawa sekitar 300 orang imigran terbalik sekitar 75 mil (setara 120 km) timur ibu kota, Tripoli.

Sekitar 137 orang berhasil diselamatkan dan kembali ke Libya, katanya. Penjaga pantai sejauh ini telah menemukan satu jenazah.

Penyeberangan ke Eropa biasanya memuncak di musim panas, ketika laut relatif tenang.

Sejauh ini, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) telah mencatat 37.555 orang memasuki Eropa melalui laut dan 8.007 lebih lanjut melalui darat pada tahun 2019.

 

 

2 dari 3 halaman

Jumlah Kematian Menurun, Tapi Perjalanan Kian Bahaya

Komisaris tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) mengatakan jumlah kematian yang dikonfirmasi pada rute Libya ke Eropa adalah 164 sejak awal tahun ini, lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya.

Namun, PBB mengatakan perjalanan itu menjadi lebih berbahaya, dengan satu dari empat orang tewas di laut sebelum mencapai Eropa.

Eksodus besar dari pantai Afrika utara ke Eropa dimulai setelah pemberontakan 2011 yang menggulingkan diktator Libya Moamar Khadafi.

Para pemimpin Eropa telah melakukan upaya untuk membendung aliran kapal imigran melintasi Mediterania, termasuk bermitra dengan penjaga pantai Libya dan pasukan Libya lainnya.

Kelompok-kelompok HAM mengatakan berbagai kebijakan itu telah membuat para imigran bergantung pada kelompok-kelompok bersenjata brutal, atau terkurung di pusat-pusat penahanan yang jorok, di mana mereka kekurangan makanan dan air yang memadai.

"Peristiwa mengerikan ini sekali lagi menyoroti perlunya perubahan dalam pendekatan terhadap situasi Mediterania. Diperlukan tindakan mendesak untuk menyelamatkan kehidupan di laut, dan mencegah orang menaiki kapal-kapal ini dengan menawarkan alternatif yang aman dan legal," kata salah seorang juru bicara UNHCR, Charlie Yaxley.

3 dari 3 halaman

Sekitar 2.500 Imigran Ditahan di Pusat Detensi Libya

Judith Sunderland, associate director Eropa dan Asia Tengah di Human Rights Watch, mengatakan: "Apa yang selalu begitu mengerikan tentang tragedi tanpa henti ini adalah bahwa mereka harus dicegah."

"Alih-alih melakukan pencarian dan penyelamatan di Mediterania, Uni Eropa justru menarik pasukannya keluar. Alih-alih mendukung operasi penyelamatan non-pemerintah, negara-negara Uni Eropa telah melemparkan setiap hambatan di jalan mereka. Alih-alih mengambil tanggung jawab sendiri, negara-negara UE telah menopang penjaga pantai Libya tanpa sumber daya atau dedikasi untuk menyelamatkan nyawa di laut," lanjut Sunderland mengkritik.

Pekan ini, penjaga pantai Libya mencegat sekitar tiga lusin orang di lepas pantai negaranya, dan membawa mereka ke pusat penahanan di dekat Tripoli.

Lebih dari 200 tahanan masih ditahan di pusat penahanan Tajoura di dekat garis depan pertempuran antara faksi-faksi Libya saingan, di mana serangan udara menewaskan lebih dari 50 orang awal bulan ini.

PBB telah menyatakan keprihatinannya atas keselamatan mereka.

Setidaknya 2.500 imigran ditahan di pusat-pusat detensi di dan sekitar Tripoli, tempat pasukan yang setia pada Panglima Tertinggi Khalifa Haftar sedang memerangi milisi yang diakui PBB sejak April.