Sukses

ESA Merilis Penampakan Kosmik 'Bayi', Berasal dari Galaksi Bimasakti?

Foto kosmik bayi dirilis ESA. Lantas dari mana asalnya?

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah 'bayi' kosmik dilaporkan telah muncul di sekitar galaksi Bimasakti. NASA, ESA, CXC, SSC dan STScl menangkap penampakan kosmik baru tersebut dan merilisnya ke publik.

Sekitar 10 miliar tahun yang lalu, tabrakan antara dua galaksi berakhir dengan salah satunya -- galaksi kerdil bernama Gaia-Enceladus -- diserap oleh yang lain, yang ukurannya lebih besar tiga kali.

Selama jutaan tahun, kanibal besar itu terus menyerap makanan galaksi untuk menyamai Bimasakti seperti sekarang ini: galaksi spiral yang disebut sebagai 'rumah' kehidupan dan menampung setidaknya 100 miliar bintang.

Studi sebelumnya menunjukkan, Bimasakti menyatu dengan galaksi lain, tetapi para ilmuwan memperdebatkan garis waktu benturan itu dan akibatnya.

Baru-baru ini, para peneliti memperkirakan waktu ketika merger terjadi, dengan memetakan sekitar 1 juta bintang dari cakram galaksi dan 'halo' -- dalam 6.500 tahun cahaya dari matahari -- menggunakan data dari Gaia (sebuah teleskop ruang angkasa yang diluncurkan pada 2013 oleh European Space Agency atau ESA).

Data baru tersebut membantu para peneliti membedakan antara bintang-bintang yang terbentuk di Bimasakti sebelum benturan dan mengisyaratkan apa yang terjadi setelah kedua galaksi bertabrakan.

Galaksi lainnya memberikan petunjuk tentang merger yang terjadi pada miliaran tahun silam, yang terlihat sebagai distorsi dalam bentuk keseluruhan galaksi.

"Namun sulit untuk menyaksikan fenomena tersebut di Bimasakti, karena kita berada di dalamnya," kata pemimpin penelitian Carme Gallart, seorang ilmuwan di Institute of Astrophysics of Canary Islands, dikutip dari Live Science, Jumat (26/7/2019).

Mendeteksi penyatuan Bimasakti berarti melacak bagaimana kelompok bintang tersebut bergerak, juga memeriksa perbedaan dalam susunan kimiawi grup itu.

Untuk mengetahui usia bintang-bintang, para astrofisikawan harus mengukur sifat-sifat seperti warna dan kecerahan, menggunakan simulasi komputer agar bisa dipetakan ke berbagai tahap evolusi bintang.

"Namun menghitung kecerahan bintang tergantung pada seberapa jauh jaraknya, dan mengukur jarak itu rumit," imbuh Gallart.

"Akan tetapi, teleskop ruang angkasa telah secara akurat mengukur jarak untuk jutaan bintang dalam ribuan tahun cahaya di sekitar matahari," jelas Gallart.

Cara seperti itu memungkinkan para ahli untuk menentukan umur bintang-bintang ini, volume besar di sekitar matahari, dan dengan akurasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam studi tersebut, para peneliti mengidentifikasi dua jenis bintang Bimasakti: kelompok "merah" yang mengandung konsentrasi logam lebih tinggi, dan kelompok "biru" yang minim logam.

Ahli kemudian memutuskan bahwa kelompok "biru" semula milik Gaia-Enceladus, galaksi kecil yang sudah 'dimangsa'.

2 dari 2 halaman

Menentukan Usia Kosmik

Para ilmuwan menemukan bahwa kedua galaksi muncul sekitar 13 miliar tahun yang lalu dan kemudian menghasilkan bintang selama sekitar 3 miliar tahun sebelum mereka bertabrakan -- sebuah proses yang memakan waktu jutaan tahun.

Ketika galaksi bergabung, benturan keduanya memanaskan bintang-bintang yang ada di Bimasakti muda, menarik mereka menjadi 'halo' bintang -- zona berbentuk lingkaran yang mengelilingi galaksi.

Gas kemudian jatuh ke pusat galaksi untuk menciptakan bentuk seperti piringan. Piringan tebal terbentuk dan menghasilkan bintang-bintang pada tingkat yang substansial.

Lalu, sekitar 6 hingga 8 miliar tahun silam, gas ini mengendap menjadi piringan tipis yang terus membentuk bintang hingga sekarang.

"Urutan peristiwa pembentukan piringan utama di Bimasakti mengungkap petunjuk penting tentang apa yang terjadi ketika dua galaksi saling menabrak," Gallart menjelaskan.

"Kita dapat mengukur efek ini jauh lebih akurat di Bimasakti daripada di galaksi eksternal, dan hal tersebut akan memberikan banyak wawasan baru tentang mekanisme fisik yang berperan dalam evolusi galaksi," pungkasnya.

Temuan itu sudah diterbitkan secara daring pada 22 Juli 2019 di jurnal Nature Astronomy.

Video Terkini