Liputan6.com, Cox's Bazaar - Pemerintah Myanmar dilaporkan mengirim tim ke pengungsian Rohingya di Bangladesh pada pekan lalu. Delegasi disebut melakukan langkah-langkah persuasif kepada para pengungsi perihal proses pemulangan kembali mereka ke negara bagian Rakhine.
Namun, sejumlah pengungsi Rohingya dilaporkan skeptis, bahkan curiga, terhadap 'bujuk rayu' pemerintah Myanmar untuk kembali. Para pengungsi khawatir bahwa kondisi mereka tak akan jauh lebih baik dari saat ini, atau bahkan, bisa ada persekusi yang terulang lagi.
Tim pemerintah Myanmar membagikan selebaran yang menjelaskan proses repatriasi Rohingya. Dalam selebaran, digambarkan bahwa para pengungsi Rohingya "dijanjikan gerbang menuju status kewarganegaraan" jika mereka mendaftarkan diri untuk "Kartu Verifikasi Nasional (NVC)."
Advertisement
"Saya bukan warga asing," kata seorang Rohingya di pengungsian Bangladesh seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (30/7/2019).
Baca Juga
Seorang pengungsi lain menambahkan, "Saya (sedari dulu) adalah penduduk asli Myanmar."
Myanmar telah lama menegaskan bahwa pengungssi Rohingya harus mengajukan dokumen identitas kontroversial jika mereka pulang, tetapi, para kritikus berpendapat kartu itu hanya akan memperdalam diskriminasi terhadap kelompok etnis minoritas tersebut.
"NVC telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat untuk mengidentifikasi Rohingya sebagai orang asing dan mereka belum menerima hak yang lebih besar sebagai hasilnya," kata Kyaw Win dari Burma Human Rights Network, yang merilis laporan awal bulan ini yang mengkritik skema tersebut.
Laporan itu berpendapat bahwa kartu-kartu itu tidak perlu karena pihak berwenang Myanmar sudah "memiliki catatan luas tentang Rohingya yang tinggal di dalam Negara Bagian Rakhine Utara" sebelum kekerasan tahun 2017.
"Jika mereka benar-benar ingin memulangkan kami, mereka harus menghentikan proses NVC dan memberi kami kewarganegaraan penuh," kata Khin Maung, aktivis pemuda Rohingya yang tinggal di selatan Bangladesh.
Sebuah op-ed (sejenis kolom opini) di surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah sebelum kunjungan delegasi menyalahkan "kelompok garis keras" karena menghalangi jalan repatriasi. Mereka mungkin mereferensi militan Arakan-Rohingya (ARSA) yang selama ini disebut oleh militer Myanmar sebagai separatis di Rakhine.
"Kendala utama untuk repatriasi adalah kehadiran kelompok garis keras di Bangladesh yang tidak ingin repatriasi, tetapi ingin meningkatkan tekanan internasional untuk menciptakan apa yang disebut 'Zona Aman' untuk memajukan agenda politik mereka," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Khawatir Akan Kamp Penampungan Massal di Rakhine
Kelompok-kelompok HAM mengatakan, pengungsian Rohingya di Bangladesh yang dipulangkan ke Rakhine kemungkinan akan digiring ke kamp-kamp penahanan dan ditahan di bawah kondisi yang mirip apartheid seperti halnya orang-orang Rohingya yang tinggal di Rakhine setelah 2017.
Pada November 2018, selama upaya gagal untuk memulangkan ribuan Rohingya, beberapa orang berusaha bunuh diri hanya demi menghindari dikirim kembali ke pembantaian di Rakhine. Sementara, militer yang bertanggung jawab terus menikmati impunitas yang hampir total.
Bahkan ketika pemerintah berjanji Rohingya akan diizinkan untuk kembali ke rumah mereka --dan membangun kembali mereka jika sempat dihancurkan-- bukti satelit baru-baru ini menunjukkan pihak berwenang masih menghancurkan desa-desa Rohingya yang ditinggalkan penghuninya. Dalam beberapa kasus, militer membangun pangkalan di area yang dihancurkan.
Sebuah laporan yang dikeluarkan pekan lalu oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI), menemukan bahwa lebih dari 100 desa Rohingya yang terbengkalai telah dibuldoser sejak tahun lalu, sementara pihak berwenang diduga telah memperluas kamp-kamp penampungan untuk para pengungsi yang kembali.
"Persiapan yang sedang dilakukan menimbulkan kekhawatiran signifikan tentang kondisi di mana Rohingya yang kembali diharapkan akan hidup," kata laporan itu.
Khin Maung, seorang aktivis pemuda Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh, mengatakan bahwa kunjungan delegasi Myanmar, dan propaganda pada selebaran mereka, lebih tentang meredakan kritik dunia terhadap Myanmar daripada meyakinkan Rohingya untuk kembali.
"Mereka tidak ingin membawa kami kembali," katanya kepada Al Jazeera. "Tapi mereka ingin mengurangi tekanan internasional, jadi mereka memainkan semua permainan ini."
Advertisement