Liputan6.com, Bangkok - Pemberian jaminan keamanan bagi pengungsi Rohingya yang akan dipulangkan ke Rakhine adalah sebuah keharusan dan penting untuk dipenuhi oleh pemerintah Myanmar.
Hal itu disepakati bersama oleh Indonesia dan PBB Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener dalam sebuah komunikasi telepon pada Rabu 31 Juli 2019 pagi.
Advertisement
Baca Juga
Kedua pihak turut menaruh perhatian pada proses repatriasi hampir satu juta pengungsi Rohingya di pengungsian Bangladesh untuk kembali ke domisili mereka di Rakhine.
Sambungan telepon itu, kata Retno, adalah "hal rutin yang biasa kami lakukan" untuk bertukar "pandangan dan pikiran mengenai perkembangan di Negara Bagian Rakhine."
Retno menjelaskan bahwa sang utusan khusus PBB memandang Indonesia "memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk ikut membantu menyelesaikan masalah" seputar isu Rohingya.
"Dalam pembicaraan, kita melihat pentingnya repatriasi. Namun, kita juga melihat bahwa isu mengenai masalah keamanan sangat penting untuk dijaminkan," kata Retno pada sela-sela agenda ASEAN di Bangkok, merangkum isi pembicaraannya dengan Burgener, seperti dikutip dari rilis video resmi Kementerian Luar Negeri RI, Kamis (1/8/2019).
"Jadi, kami menilai bahwa isu keamanan harus dapat dijamin oleh pemerintah Myanmar sebelum repatriasi dilakukan," lanjut Retno.
Simak video pillihan berikut:
Menolak Pulang Tanpa Status Kewarganegaraan
Terkait repatriasi, para pengungsi Rohingya di Bangladesh menyatakan menolak untuk kembali ke Myanmar kecuali diakui sebagai kelompok etnis di negara asal mereka.
Pernyataan itu disampaikan salah satu pemimpin Rohingya dalam perundingan repatriasi dengan delegasi pemerintah Myanmar yang dipimpin Sekretaris Permanen Urusan Luar Negeri U Myint Thu, akhir pekan lalu.
Myanmar telah lama menegaskan bahwa pengungssi Rohingya harus mengajukan dokumen "Kartu Verifikasi Nasional (NVC)" yang kontroversial jika mereka pulang, tetapi, para kritikus berpendapat kartu itu hanya akan memperdalam diskriminasi terhadap kelompok etnis minoritas tersebut.
"NVC telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat untuk mengidentifikasi Rohingya sebagai orang asing dan mereka belum menerima hak yang lebih besar sebagai hasilnya," kata Kyaw Win dari Burma Human Rights Network, yang merilis laporan awal bulan ini yang mengkritik skema tersebut.
Laporan itu berpendapat bahwa kartu-kartu itu tidak perlu karena pihak berwenang Myanmar sudah "memiliki catatan luas tentang Rohingya yang tinggal di dalam Negara Bagian Rakhine Utara" sebelum kekerasan tahun 2017.
"Jika mereka benar-benar ingin memulangkan kami, mereka harus menghentikan proses NVC dan memberi kami kewarganegaraan penuh," kata Khin Maung, aktivis pemuda Rohingya yang tinggal di selatan Bangladesh.
Sebuah op-ed (sejenis kolom opini) di surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah sebelum kunjungan delegasi menyalahkan "kelompok garis keras" karena menghalangi jalan repatriasi. Mereka mungkin mereferensi militan Arakan-Rohingya (ARSA) yang selama ini disebut oleh militer Myanmar sebagai separatis di Rakhine.
"Kendala utama untuk repatriasi adalah kehadiran kelompok garis keras di Bangladesh yang tidak ingin repatriasi, tetapi ingin meningkatkan tekanan internasional untuk menciptakan apa yang disebut 'Zona Aman' untuk memajukan agenda politik mereka," katanya.
Advertisement