Sukses

Gaya Baru Pers di Filipina Tawarkan Tren Jurnalis Independen Lawan Kediktatoran

Di Filipina, tidak sedikit nyawa jurnalis yang terancam dan hilang akibat diberangus oleh kediktatoran.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Serikat Jurnalis Nasional Filipina, Noynoy Espina, menilai sudah sulit melawan kediktatoran pemerintah di negaranya. Gaya kepemimpinan Rodrigo Duterte yang kerap disikapi kritis oleh pers, malah berbuah pahit untuk media atau jurnalisnya itu sendiri.

Noynoy bercerita, tidak sedikit nyawa jurnalis yang terancam dan hilang akibat diberangus oleh kediktatoran.

Rappler, sebagai media yang kerap mengkritisi tindak-tanduk Duterte kerap kali pemimpin redaksinya, Maria Ressa, berurusan dengan aparat Filipina dengan beragam tuduhan.

"Jadi tantangan terbesar jurnalis di Filipina adalah bagaimana pemerintah menyudutkan media, dan media dijadikan senjata," kata Noynoy dalam pemaparannya saat Regional Conference yang dihelat oleh Aliansi Jurnalis Independen di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Karenanya, bersama serikat jurnalis di Filipina, Noynoy menerapkan gaya baru untuk melawan desakan terhadap kebebasan pers di Filipina. Salah satu cara terbilang ampuh, lanjut dia, adalah dengan bersatu dan membuat situs-situs kecil secara independen.

"Mereka bersuara lewat Facebook, dan banyak dari mereka mulai bergabung dgn cara ini saya mengupayakan membangun jaringan dari outlet independen ini untuk membangun koneksi," jelas Noynoy.

Noynoy percaya, dengan semakin tumbuhnya tren jurnalisme independen di Filipina, selain mampu melawan kediktatoran, pers masanya juga dapat berdikari melawan oligarki media oleh korporasi.

"Saya rasa ini masa depan (pers) akan mengarah ke independen dan media korporat akan menjadi 'dinosaurus' yang akan punah. Jadi dengan gerakan independen ini yang akan berkembang," tegas Noynoy.

2 dari 2 halaman

Tuduhan ke Media Rappler

Sebelumnya, Kementerian Kehakiman Filipina mengambil langkah untuk menuntut situs berita investigatif Rappler atas tuduhan penghindaran pajak. Hal itu dilihat sebagai upaya terselubung dalam meredam kebebasan pers di sana.

Pada Jumat 9 November 2018, Kementerian Kehakiman mengatakan telah "menemukan kemungkinan penyebab" untuk mendakwa Rappler, termasuk CEO dan editor eksekutifnya, yang merupakan mantan kepala biro CNN Filipina, Maria Ressa, atas tuduhan penggelapan pajak.

"Kami sama sekali tidak terkejut dengan keputusan itu, mengingat bagaimana pemerintahan (Presiden Rodrigo) Duterte telah banyak mengkritik laporan Rappler yang independen dan tak kenal takut," kata media terkait dalam sebuah pernyataan publik, sebagaimana dikutip dari CNN pada Minggu (11/11/2018).

Selengkapnya di sini...

Video Terkini