Sukses

Indonesia Pimpin Kawasan Atasi Isu Penyaluran Bantuan dalam Krisis Kemanusiaan

Indonesia merangkul dan memimpin diskusi tingkat kawasan dengan mengundang negara-negara ASEAN, negara mitra ASEAN di Asia-Pasifik, hingga badan PBB.

Liputan6.com, Jakarta - Merebaknya krisis global dan kawasan, baik yang disebabkan bencana alam atau konflik manusia, membutuhkan penyaluran bantuan kemanusiaan yang cepat pula kepada para korban.

Tetapi, sifat krisis yang lintas-batas dan multidimensional, menyebabkan para aktor dan aktivis kemanusiaan mengalami sejumlah hambatan dalam menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Berinisiatif untuk mengatasi permasalahan tersebut, Indonesia merangkul dan memimpin diskusi tingkat kawasan dengan mengundang negara-negara ASEAN, negara mitra ASEAN di Asia-Pasifik, badan PBB dan organisasi kawasan serta internasional yang bergerak di bidang penyaluran bantuan kemanusiaan.

"Tujuan kita bersama adalah berbagi pengalaman dan praktik terbaik ... demi mengatasi berbagai kendala dalam hal bantuan kemanusiaan," kata Wakil Menteri Luar Negeri RI, AM Fachir, membuka 'The 1st Regional Conference on Humanitarian Assistance: Enhancing the Capacity of Humanitarian Actions in South East Asia' di Jakarta, Kamis (8/8/2019).

"Isu dan kendala seputar bantuan kemanusiaan untuk krisis adalah persoalan multidimensional yang membutuhkan partisipasi bagi seluruh pemangku kepentingan; pemerintah dan organisasi non-pemerintah," lanjut Fachir.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Mengatasi Kesenjangan, Meningkatkan Kapasitas

Terselenggaranya dialog itu berawal dari adanya permasalahan kesenjangan dan perbedaan kapasitas para aktor atau aktivis kemanusiaan dalam menyalurkan bantuan pada kelompok-kelompok target yang membutuhkan, seperti korban bencana alam hingga pengungsi lintas batas yang disebabkan oleh konflik.

"Oleh karenanya dalam kegiatan ini, kita berusaha untuk meningkatkan kapasitas para aktor penyalur bantuan kemanusiaan, lewat berbagi pengalaman, jaringan dan praktik-praktik terbaik, agar kami bisa saling belajar," jelas Wamenlu Fachir.

"Harapannya bisa menghasilkan strategi bersama, bagaimana para pelaku, bisa bekerjasama meningkatkan kapasitas mereka."

Direktur Jenderal Kerja Sama Kemlu RI, Febrian Ruddyard mengatakan bahwa kesenjangan yang dimaksud adalah perbedaan kemampuan para agensi antar-pemerintah negara yang bergerak pada bidang bantuan kemanusiaan, hingga, perbedaan regulasi.

"Jika kesenjangan terus dibiarkan, proses penyaluran bantuan kemanusiaan jadi terkendala," lanjut Febrian.

"Oleh karenanya, kita ingin lewat dialog ini, ada penyamaan standar dan kapasitas sesuai ketentuan PBB."

Dalam konferensi, Indonesia juga mempresentasikan pengalamannya sendiri dalam kegiatan penyaluran bantuan bagi krisis kemanusiaan domestik dan luar negeri, seperti: gempa Lombok dan Palu; kontribusi di kamp pengungsian Rohingya di Cox's Bazaar, Bangladesh; bantuan kemanusiaan untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan di negara bagian Rakhine, Myanmar; hingga konsistensi uluran tangan RI untuk Palestina.

Tetapi, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI, Achsanul Habib menambahkan bahwa konferensi bukan untuk membahas akar terjadinya suatu krisis kemanusiaan, apalagi, 'melempar telunjuk' kepada negara-negara tertentu.

"Tidak, kita tidak membahas root causes-nya. Kalau itu yang dibahas, tidak terbangun rasa percaya antara masing-masing pihak. Karena, dalam urusan penyaluran bantuan kemanusiaan, kita butuh rasa percaya serta partisipasi semua pihak, dan itu harganya mahal," jelasnya kepada sejumlah wartawan.

Wamenlu Fachir menekankan kembali bahwa tujuan utama perhelatan itu adalah "sinergitas, penyelarasan kapasitas, dan saling berbagi."

"Masing-masing punya pengalaman dan kita bersama belajar dari pengalaman itu."