Sukses

Kisah Tragis Jimmy Aldaoud Meninggal di Irak, Korban Deportasi Donald Trump

Sebelum dideportasi, Jimmy Aldaoud yang lama tinggal di AS ini belum pernah menginjakkan kakinya di Irak. Meski sang ayah berasal dari Negeri 1001 Malam tersebut.

Liputan6.com, Irak - Sebelum dideportasi, Jimmy Aldaoud belum pernah menginjakkan kakinya di Irak. Ia telah tinggal di Amerika Serikat selama 40 tahun, sejak masih bayi.

Setelah dideportasi ke Irak sebagai bagian dari tindakan keras pemerintah Donald Trump terhadap imigrasi ilegal, Aldaoud meninggal dunia karena komplikasi diabetes pada usia 41 tahun. Hal itu diungkapkan pengacaranya, Edward Bajoka kepada CNN, Jumat (9/8/2019).

Lahir di Yunani dari orangtua pengungsi Irak, ia berimigrasi ke Amerika Serikat bersama keluarganya 40 tahun silam. Saat itu, ia baru berusia 6 bulan.

Meski berwarga negara Irak, Aldaoud menganggap dirinya orang Amerika. Bahkan, ia hampir tidak tahu apa-apa tentang masyarakat Irak.

Namun, pada 4 Juni sore, ia mendapati dirinya mengembara di terminal kedatangan Bandara Internasional Al Najaf, sekitar 100 mil selatan Baghdad. Saat itu, ia hanya membawa uang sekitar $ 50, beberapa insulin untuk diabetesnya, dan pakaian di tas punggungnya.

Saat dideportasi, Aldaoud yang memiliki catatan kriminal panjang di AS, tidak memiliki keluarga di kampung halamannya. Bahkan, ia tidak berbicara bahasa Irak. Jasadnya ditemukan pada Selasa 6 Agustus di sebuah apartemen yang ia tinggali bersama seorang warga Keturunan Irak-Amerika lainnya.

"Dia tidak bisa mendapatkan insulin di Irak. Pada dasarnya itulah penyebab kematiannya," kata Bajoka. "Kematian ini benar-benar dapat dicegah. Itu tidak harus terjadi. Kematiannya telah menghancurkan keluarganya dan masyarakat."

Pejabat Imigrasi dan Bea Cukai di Detroit mengatakan kepada CNN, ketika Aldaoud dideportasi pada 2 Juni, "dia diberi obat lengkap untuk memastikan kesinambungan perawatan."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Catatan Kriminal

Meskipun memegang kewarganegaraan Irak melalui ayahnya, Aldaoud yang merupakan bagian dari komunitas Katolik Khaldea di Michigan, belum pernah ke Negeri 1001 Malam. Ia dilahirkan di sebuah kamp pengungsi di Yunani. Keluarganya datang ke AS secara sah sebagai pengungsi pada 1979.

Orangtuanya sekarang sudah meninggal dan tiga saudara kandungnya telah menjadi warga AS. Sementara Aldoud belum memperoleh status serupa dengan ketiga kerabatnya itu.

Bajoka berbagi video Aldaoud yang diambil di Irak dua pekan setelah dia dideportasi, di mana dia membahas penangkapan oleh agen ICE pada Mei sebelum dipaksa masuk ke penerbangan komersial beberapa hari kemudian.

"Saya memohon kepada mereka. Saya berkata, 'Tolong, saya belum pernah melihat negara itu. Saya belum pernah ke sana,'" kata Aldaoud dalam video.

"Mereka memaksa saya. Saya di sini sekarang, dan saya tidak mengerti bahasanya. Saya tidur di jalanan. Saya menderita diabetes. Saya butuh suntikan insulin dan tak punya apa-apa untuk dimakan."

Aldaoud memiliki catatan kriminal yang panjang, "yang melibatkan tidak kurang dari 20 hukuman antara 1998-2017," kata seorang pejabat ICE Detroit kepada CNN, termasuk penyerangan dengan senjata berbahaya, kekerasan dalam rumah tangga, penghinaan terhadap pengadilan, invasi rumah, kepemilikan ganja, dan lainnya.

Menurut Bajoka, catatan kriminal inilah yang akhirnya membuat Aldaoud dipenjara dan dipindahkan ke tahanan ICE pada awal 2000-an.

"Dia memiliki masalah kesehatan mental yang parah. Dia bipolar, skizofrenia, menderita depresi berat dan gangguan kecemasan. Pada akhirnya itulah yang membuatnya terlibat masalah hukum yang berujung pada deportasinya," kata Bajoka.

3 dari 3 halaman

Dimakamkan di AS

Keluarga Aldaoud, bersama dengan Perwakilan Demokrat Andy Levin, dari negara bagian asal Aldaoud di Michigan, berharap dapat membawa jasadnya kembali ke AS untuk proses penguburan Katolik dan dimakamkan di samping orangtuanya.

"Kasus ini seharusnya peringatan kepada pemerintahan Trump, jika mereka terus mendeportasi orang-orang yang rentan ke Irak bisa berakibat buruk...," kata Levin. "Apa yang saya tanyakan adalah kepentingan kebijakan Amerika Serikat apa yang dilayaninya? Saya tidak mengerti."

Levin mensponsori undang-undang bersama dengan John Moolenaar dari Michigan yang bertujuan untuk menghentikan deportasi warga negara Irak, untuk memberi mereka waktu mengajukan banding atas kasus-kasus imigrasi mereka.

"Saya sudah melakukan diskusi intensif dengan pemerintah mengenai hal ini. Mereka bersikap ramah dan tidak bermusuhan sama sekali. Tapi sepertinya mereka tidak akan mengubah arah," kata Levin kepada CNN. "Pesan saya kepada para diplomat Irak saat ini adalah bahwa mereka tidak perlu membawa siapa pun masuk jika tidak dapat memberikan keamanan sejati bagi mereka."

Bajoka mengatakan, Aldaoud telah dibebaskan dari tahanan ICE pada awal 2000-an dan telah ditebus kembali pada Juni 2017, sebagai bagian dari pembersihan imigrasi besar-besaran yang menargetkan warga negara Irak dengan perintah deportasi. Aldaoud telah menerima perintah deportasi sejak 2005.

Dia adalah bagian dari gugatan class action yang dibawa oleh American Civil Liberties Union of Michigan yang bertujuan membebaskan tahanan yang ditahan tanpa batas waktu, sebagian karena keengganan Irak untuk menerimanya, menurut pengajuan pengadilan.