Liputan6.com, Bangkok - Perdana Menteri Thailand yang baru saja dilantik menuai kontroversi baru. Ia diketahui mengucap sumpah jabatan dengan melewatkan satu kalimat.
Ia menghilangkan satu kalimat dalam sumpah jabatan di mana seharusnya berjanji akan menjunjung tinggi setiap aspek konstitusi. Kelalaian itu menimbulkan pertanyaan mengenai apakah pelantikan itu sah secara hukum.
Advertisement
Baca Juga
Seolah menanggapi hal itu, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha pada Jumat 9 Agustus mengatakan, ia tidak akan berhenti meskipun menghadapi kritik yang kian besar. Khususnya, karena ia tidak mengucapkan sumpah jabatan secara sempurna seperti dilansir dari VOA Indonesia, Sabtu (10/8/2019).
Prayuth mengatakan kepada wartawan Jumat, ia akan terus melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya karena ia adalah perdana menteri.
Prayuth memimpin pelantikan kabinetnya dalam upacara yang dipimpin raja pada 16 Juli lalu. Saat itu ia mengucap sumpah.
Sumpah jabatan itu diwajibkan berdasarkan Pasal 161 Konstitusi Thailand, yang menyatakan, kalimat itu harus diucapkan kepada raja sebelum menteri-menteri kabinet mulai bertugas.
Kelalaian Prayuth membaca sumpah secara penuh, yang juga membuat para menteri melakukan kekeliruan serupa karena mereka mengulangi apa yang ia katakan, ditunjukkan oleh politisi oposisi Piyabutr Saengkanokkul dalam suatu sidang parlemen pada 25 Juli.
Aktivis hukum Srisuwan Janya mengadukan hal tersebut ke Kantor Ombudsman pada hari Senin. Pengaduannya telah diterima untuk dipertimbangkan.
Berhasil Kalahkan Thanathorn yang Populis
Secara keseluruhan, Prayut berhasil mengumpulkan 500 suara, dibandingkan Thanathorn yang hanya mampu meraih 244 dukungan.
Kemenangan Prayut, yang merupakan pensiunan jenderal, dijamin oleh dukungan dari senat Thailand beranggotakan 250 orang, dan dipilih secara konstitusional terbatas, bukan melalui pemilu.
Sistem pemilihan perdana menteri Thailand mengandalkan raihan surara terbanyak dari jajak pendapat parlemen, yang anggota terbarunya saat ini terpilih melalui pemilu pada Maret lalu.
Banyak pengamat mengatakan bahwa Senat Thailand, yang dikuasai oleh koalisi pemerintah militer, telah lebih dulu memastikan dukungan besar bagi Prayut Chan-O-Cha.
Meski begitu, masih menurut para pengamat, sang pensiunan jenderal berusia 65 tahun itu telah menunjukkan perubahan besar dari citra pemimpin militer berwatak keras yang menggulingkan pemerintah sipil, menjadi sosok perdana menteri yang cenderung bermain taktik, daripada menghardik.
Advertisement
Thailand Masih Terpecah Belah
Saat ini, meski perdana menteri telah ditetapkan, namun masyarakat Thailand masih terpecah belah pasca kudeta yang bermula 13 tahun lalu, di mana selama itu diwarnai protes jalanan dan pemerintahan sipil berumur pendek.
Para pengamat menilai bahwa akar masalah utamanya adalah pada persaingan antara pembentuk pemerintah konservatif yang condong ke kerajaan, dan desakan partai-partai demokrasi yang didukung oleh kalangan menengah ke bawah, serta kelompok usia muda yang jengah terhadap aturan jenderal.
Prayut Chan-o-Cha dinilai mewakili elit yang berpikiran sempit, dan tidak memiliki visi untuk memerintah sebagai pemimpin sipil, setelah gagal menghidupkan kembali perekonomian Thailand, menjembatani ketidaksetaraan, atau menyembuhkan perpecahan politik.