Sukses

Debu Antariksa Jatuh di Antarktika, Diduga Berasal dari Ledakan Bintang Dahsyat

Tim peneliti, untuk pertama kalinya, menemukan debu antariksa yang jatuh ke Bumi, tepatnya yang jatuh di kutub selatan.

Liputan6.com, Canberra - Sekelompok peneliti, untuk pertama kalinya, menemukan debu antariksa yang jatuh ke Bumi. Penemuan itu dilakukan dengan memerksa salju di Antarktika yang mana debu tersebut jatuh di kutub selatan planet kita.

Temuan itu dapat menjelaskan awan antarbintang misterius yang dilalui tata surya secara teratur, kata para ilmuwan dalam laporan risetnya, seperti dikutip dari Space.com, Kamis (15/8/2019).

Para ilmuwan merinci temuan mereka secara daring pada 12 Agustus 2019 di jurnal Physical Review Letters.

Banyak debu antariksa, yang diciptakan oleh komet yang lewat, tabrakan asteroid dan bintang yang meledak, jatuh di Bumi setiap hari. Tetapi para ilmuwan mungkin tidak menemukannya hingga temuan material itu jatuh, dan oleh karenanya, para periset memiliki data yang kurang detail tentang interaksi tata surya dengan lingkungannya.

Penelitian tebaru itu menganalisa debu antarbintang dan antariksa yang relatif baru. Temuan juga dapat mengungkapkan wawasan tentang awan antarbintang yang misterius dan hubungannya dengan tata surya kita.

"Para ilmuwan mungkin dapat menggunakan hasil kami untuk mencari tahu bagaimana lingkungan tata surya terbentuk," kata pemimpin penelitian Dominik Knoll, seorang ahli fisika nuklir eksperimental di Australian National University di Canberra, kepada Space.com.

"Kami tahu sesuatu tentang galaksi dan bintang yang jauh dan banyak tentang tata surya kita, tetapi, soal lingkungan terdekat tata surya, kita perlu penyelidikan lebih lanjut," lanjut peneliti itu.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Sampel Debu Antarbintang Murni

Untuk mencari sampel debu antarbintang murni, para ilmuwan mengumpulkan sekitar 500 kilogram salju Antartika yang berusia kurang dari 20 tahun. Itu dikumpulkan beberapa ratus kilometer dari pantai benua beku, dekat Stasiun Kohnen yang dikelola Jerman.

Untuk mengidentifikasi komponen salju, para peneliti membawanya ke Munich, melelehkannya, menyaring padatan, membakar residu dan menganalisis pola cahaya yang dihasilkannya.

Mereka menemukan adanya dua isotop radioaktif yang langka: zat besi-60 dan mangan-53.

(Isotop suatu unsur bervariasi dalam berapa banyak neutron yang mereka miliki dalam nukleinya; jadi misalnya, isotop besi yang paling berlimpah secara alami, besi-56, memiliki 30 neutron, sedangkan besi-60 memiliki 34 neutron.)

Menurut para peneliti, sumber yang paling mungkin dari besi-60 adalah supernova, sebuah ledakan dahsyat dari bintang sekarat raksasa yang cukup terang untuk secara singkat mengungguli semua bintang lain di galaksi inangnya.

Cara alami lain untuk membuat besi-60 hanya menghasilkan hingga sepersepuluh dari kadar orisinalnya.

Namun, besi-60 dan mangan-53 juga dapat diproduksi ketika pecahan atom yang disebut sinar kosmik menabrak debu antarplanet. Meskipun demikian, para peneliti menemukan rasio yang lebih besar dari besi-60 ke mangan-53 daripada yang mereka harapkan dari mekanisme ini.

Para peneliti juga menyelidiki apakah besi-60 datang sebagai dampak dari senjata nuklir atau pembangkit listrik. Namun, mereka menemukan bahwa produksi besi-60 dan mangan-53 dari sumber-sumber ini harus diabaikan.

Jadi para ilmuwan menyimpulkan bahwa isotop radioaktif ini kemungkinan besar ditempa dalam supernova terdekat yang kemudian menaburkan awan antarbintang, gas dan debu. Dalam studi tersebut, para peneliti menyarankan bahwa, ketika tata surya melewati awan seperti itu, debu ini menghujani permukaan Bumi.

Pemeriksaan masa depan debu antarbintang di salju dan es yang lebih tua dapat menjelaskan asal-usul dan struktur awan antarbintang terdekat dan sejarah interaksi mereka dengan tata surya, kata para peneliti.