Sukses

Kaisar Baru Jepang Ungkap Penyesalan Mendalam atas Perang Dunia II

Untuk pertama kalinya, kaisar baru Jepang mengungkapnya penyesalan mendalam terhadap kebijakan selama Perang Dunia II.

Liputan6.com, Tokyo - Kaisar baru Jepang, Kaisar Naruhito, berbicara tentang "penyesalan mendalam" atas tindakan negaranya selama Perang Dunia II. Hal itu diungkapkan dalam pidato pertamanya tentang peringatan tahunan atas berakhirnya konflik terkait.

Naruhito mengulang apa yang pernah disampaikan ayahnya, mantan Kaisar Akihito, yakni meminta maaf secara terbuka --untuk pertama kalinya-- tentang kebijakan fasis Jepang selama Perang Dunia II.

Komentar Kaisar Naruhito dipantau dengan seksama di Tokyo dan di seluruh Asia untuk setiap perubahan nada, tetapi dia erat menggema bahasa yang digunakan oleh ayahnya, yakni tentang perdamaian dan permintaan maaf, demikian dikutip dari Channel News Asia pada Kamis (15/8/2019).

"Mengenang kembali tahun-tahun damai yang panjang setelah perang, merenungkan masa lalu kita, dan mengingat perasaan penyesalan yang dalam, saya sungguh berharap bahwa kehancuran perang tidak akan pernah terulang," kata Naruhito (59) yang baru dinobatkan pada Mei lalu.

Sang kaisar juga mengatakan bahwa selama 74 tahun sejak berakhirnya Perang Dunia II, Jepang telah mengupayakan perdamaian dan kemakmuran "yang dihasilkan dari upaya tak kenal lelah oleh rakyat".

"Namun, ketika saya memikirkan masa lalu mereka (korban perang) yang penuh dengan penderitaan, saya benar-benar diliputi oleh emosi mendalam," sambung Naruhito dalam upacara khusyuk di pusat kota Tokyo, yang diikuti momen mengheningkan cipta selama satu menit.

Sementara itu, Perdana Menteri Shinzo Abe menghindar dari agenda kunjungan ke Kuil Yasukuni yang kontroversial, di mana upacara peringatan gugurnya tentara Jepang di Perang Dunia, kerap memicu kemarahan dari para negara tetangganya di Asia, terutama China dan Korea Selatan.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Berbarengan dengan Konflik Jepang-Korsel

Upacara tahun ini digelar ketika Jepang dan Korea Selatan --salah satu negara yang paling terdampak oleh kekejaman militer Negeri Matahari Terbit saat perang-- terlibat adu tensi tentang perdagangan dan sejarah masa lalu.

Dalam pidatonya untuk memperingati pembebasan Korea dari pemerintahan Jepang tahun 1910-1945, Presiden Moon Jae-in mencetuskan nada berdamai terhadap Tokyo, menawarkan untuk "bergandengan tangan" jika negara tetangganya itu memilih dialog.

Sementara itu, Abe mengirim seorang pembantu dan persembahan uang ke Kuil Yasukuni seraya melanjutkan kebijakannya, yang telah berlaku selama beberapa tahun, untuk tidak berkunjung.

Abe terakhir mengunjungi Kuil Yasukuni pada Desember 2013, untuk menandai tahun pertamanya berkuasa. Hal itu memicu kemarahan di China dan Korea Selatan, serta juga mendapat teguran diplomatik yang langka dari sekutu dekatnya, Amerika Serikat.

Sejak itu, Abe memilih menjauh dari Kuil Yasukuni, selain untuk mempertahankan komitmen hubungan baik dengan China yang dipimpin Xi Jinping.

Ada kabar berembus --meski belum dikonfirmasi-- bahwa Xi akan berkunjung ke Jepang pada 2020, sekitar waktu musim mekarnya bunga sakura.

3 dari 3 halaman

Alasan Kuil Yasukuni Dianggap Kotroversial

Kuil Yasukuni dianggap kontroversial karena digunakan untuk upacara peringatan terhadap sekitar 2,5 juta orang yang tewas selama perang sejak akhir Abad ke-19, di mana sebagian besar ditujukan untuk orang Jepang.

Peringatan terkait juga turut mengabadikan tokoh-tokoh senior militer dan politik Jepang, yang dihukum karena kejahatan perang oleh pengadilan internasional setelah Perang Dunia II.

Fakta-fakta tersebut membuat Yasukuni menjadi magnet kritik bagi negara-negara yang menderita akibat kolonialisme dan agresi Jepang pada paruh pertama Abad ke-20.

Sejauh ini, tidak ada laporan tentang anggota kabinet pemerintahan PM Abe yang mengunjungi kuil tersebut, meskipun puluhan anggota parlemen melakukan ziarah tahunan.

Abe juga berpegang teguh pada apa yang pernah disampaikan di pidatonya, bahwa ia menaruh "rasa hormat dan terima kasih yang tulus" bagi mereka yang gugur untuk perang Jepang, dan bersumpah "tidak pernah lagi mengulangi kehancuran serupa".

"Janji ini tidak pernah berubah dan tidak akan pernah berubah, sekalipun di era baru di bawah Kaisar Naruhito," Abe bersumpah.