Liputan6.com, Hong Kong - Hong Kong masih bergolak. Demonstrasi yang terjadi di wilayah administratif khusus China tersebut telah berlangsung selama hampi lebih dari dua bulan.
Protes telah menimbulkan keresahan publik dan menuai ketegangan, antara para demonstran yang dikenal sebagai massa pro-demokrasi dengan pemerintah administratif Hong Kong serta pemerintah pusat China di Bejing.
Demonstrasi dipicu oleh penolakan massa terhadap RUU Ekstradisi Hong Kong, yang memungkinkan seorang pelanggar hukum untuk dikirim ke China guna menjalani proses peradilan. Massa menilai RUU itu sebagai bentuk pelunturan terhadap nilai-nilai independensi wilayah otonom eks-koloni Inggris tersebut.
Advertisement
Lebih lanjut, para pengkritik mengatakan bahwa undang-undang akan menempatkan penduduk Hong Kong dalam risiko terperangkap dalam sistem peradilan China yang mereka nilai "keruh", di mana para terdakwa dapat menghadapi proses hukum yang tidak adil dalam suatu sistem yang sebagian besar pengadilan pidana berakhir dengan vonis hukuman.
Baca Juga
Menyikapi protes berlarut, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menunda RUU tersebut "hingga batas waktu yang tidak ditentukan." Bahkan menyebutnya, "telah mati" demi menenangkan massa.
Namun, demonstran tak puas. Protes terus berlanjut dan bermanifestasi menjadi bentuk kritik meluas terhadap pemerintahan Hong Kong serta China.
Demonstrasi memicu bentrokan antara massa pro-demokrasi dengan aparat, serta massa dengan gerombolan pihak ketiga, yang terjadi di sejumlah titik kota dan objek vital.
Tiongkok telah melontarkan retorika keras terhadap demonstrasi di Hong Kong yang beberapa kali berujung bentrokan antara massa dengan aparat. Beijing melabel aksi para demonstran sebagai "terindikasi terorisme dan radikalisme".
Tak seperti di China, demonstrasi adalah hal yang kerap terjadi di Hong Kong --sebuah wilayah yang selama ratusan tahun merupakan koloni Inggris, dan baru diserahkan kepada Tiongkok pada 1997.
Lama menjadi koloni Inggris menjadikan wilayah dan demografi di sana tumbuh menjadi komunitas yang cenderung liberal dan terbuka ketimbang saudara-saudara mereka di China daratan.
Selain itu, berdasarkan kesepakatan serah terima dengan Inggris, Hong Kong dijamin haknya untuk mempertahankan sistem sosial, hukum, dan politiknya sendiri. Oleh karenanya, gerakan massa dan demonstrasi adalah hal yang lumrah di wilayah tersebut.
Tetapi, kini muncul kekhawatiran dari sejumlah analis bahwa Beijing bisa melakukan penindakan keras terhadap Hong Kong dan mengulang kembali Tragedi Tiananmen 1989 yang kontroversial. Benarkah demikian?
Simak video pilihan berikut:
Akankah Berujung Seperti Tragedi Tiananmen?
Di Tiongkok, terakhir kali protes massa sebesar di Hong Kong seperti tahun ini terjadi pada 1989 --yang dikenal sebagai Protes Tiananmen. Demografi dan tuntutan para demonstran pada saat itu hampir serupa: menyerukan demokrasi.
Namun, protes di Tiananmen tahun 1989 berujung menjadi tragedi. China mengerahkan militer untuk meredam, bahkan menumpas demonstran.
Kini, kekhawatiran kejadian itu bisa terulang terasa di Hong Kong, terlebih, setelah muncul laporan bahwa China mengerahkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) ke perbatasan dekat Hong Kong pekan ini.
PLA juga memiliki pasukan di Hong Kong. Namun, status otonomi khusus di wilayah itu, sampai saat ini, masih mencegah tentara China untuk turun tangan meredam massa. Tapi pertanyaannya, sampai kapan Beijing menahan diri untuk tidak mengintervensi pergolakan di sana? Dan apakah protes di Hong Kong bisa berujung menjadi tragedi seperti di Tiananmen 1989?
(Baca juga soal justifikasi China dan kilas balik tragedi Tiananmen 1989 di sini)
"Ada kekhawatiran bahwa itu (kejadian seperti di Tiananmen) bisa terjadi di Hong Kong," kata Mark Almond, Director of the Crisis Research Institute yang berbasis di Oxford, Inggris, seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (15/8/2019).
Tapi Almond mengatakan bahwa Beijing sendiri tidak menginginkan kejadian di Tiananmen 1989 terulang di Hong Kong.
"Memang, apa yang dilakukan para pengunjuk rasa Hong Kong adalah mengusik otoritas Presiden Xi Jinping. Mereka menekankan bahwa mereka bukan orang China," jelasnya.
"Tapi yang paling diinginkan Beijing adalah agar para pengunjuk rasa mundur tanpa keterlibatannya ... Pertumpahan darah di jalanan Hong Kong tidak diinginkan. Tidak seperti pada tahun 1989, kepemimpinan Komunis Tiongkok tidak secara langsung terancam oleh protes yang berada 1.200 mil jauhnya, juga tidak ada tanda-tanda 'penularan' pembangkangan di Hong Kong bisa menyebar ke China daratan," Almond memperkirakan.
Soal pengerahan pasukan China untuk meredam demonstrasi di Hong Kong, Almond juga memperkirakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi.
"Karena mereka (tentara China) akan dipandang sebagai penjajah dan bisa memprovokasi perang gerilya perkotaan," kata Almond.
"Itu akan menghancurkan ekonomi Hong Kong, pusat keuangan penting bagi Timur dan Barat, dan melepaskan banjir darah yang merusak reputasi China."
"Mitra dagang globalnya juga akan marah dengan dampak korban manusia dan implikasi yang bisa terjadi, sehingga mereka bisa urung untuk melakukan bisnis di sana," tutup Almond.
Advertisement
Kekhawatiran Tiananmen Jilid 2 Tak Boleh Diremehkan
Sementara itu, pengamat lain menjelaskan bahwa kekhawatiran akan terjadinya Tiananmen jilid 2 di Hong Kong tidak boleh diremehkan.
Ketika beberapa analis berpendapat bahwa Beijing pada akhirnya akan menahan diri dari penggunaan kekerasan karena kekhawatiran atas reputasi globalnya atau pukulan balik domestik, namun, hal itu bisa saja merupakan sebuah 'sesat pikir', kata Jude Blanchett, kolumnis untuk outlet majalah hubungan internasional yang berbasis di AS, Foreign Policy.
Mengutip Kerry Brown dari King's College London, Blanchett menjelaskan bahwa "perlawanan domestik dan kecaman internasional bisa dikelola meski dengan harga yang mahal, demi mempertahankan sebuah otoritas politik yang saat ini goyah" di Hong Kong.
"Bagi kepemimpinan pemerintahan satu partai seperti di China, yang dipimpin oleh Partai Komunis dibawah otoritas Presiden Xi Jinping, penindakan keras terhadap Hong Kong adalah sebuah taruhan besar."
"Tapi, inti dari Partai Komunis China tentang prinsip integritas teritorial yang tak tertandingi dan argumen bahwa mereka mengganggap dirinya sebagai representatif 'seluruh orang-orang China' bisa mendorong terjadinya suatu pendindakan keras," ujar Blanchett, yang menjelaskan bahwa dengan argumentasi tersebut, respons represif Beijing bisa saja terjadi dan merupakan sebuah 'harga mahal' yang layak.
"Karena itu tidak mengherankan bahwa Beijing telah meningkatkan retorikanya terhadap para demonstran dalam sepekan terakhir, dengan menyamakan mereka sebagai teroris dan menyalahkan 'pasukan asing yang bermusuhan' untuk mengorganisir dan menghasut protes."
"Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Beijing siap untuk menghancurkan protes dengan kekuatan langsung atau apakah ancaman baru-baru ini hanya gertakan, dimaksudkan untuk menakuti baik para pengunjuk rasa dan pemerintahan Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam," tutup Blanchett.