Sukses

Serangan Udara Hantam Konvoi Militer Turki di Perbatasan Suriah

Konvoi militer Turki di perbatasan Suriah diserang via udara oleh pasukan rezim berkuasa.

Liputan6.com, Idlib - Turki telah mengirim sejumlah besar tank dan pasukan ke perbatasan Suriah, dalam upaya nyata untuk memperkuat kota Khan Sheikhun, tempat di mana 92 orang tewas dalam serangan gas sarin oleh rezim berkuasa pada 2017, yang disebut sebagai salah satu kekejaman perang paling terkenal di era modern.

Kolom pasukan Turki, yang merupakan serangan terbesar Ankara ke Suriah dalam konflik delapan tahun, melintasi perbatasan selatan ke provinsi Idlib pada Senin pagi, dan dikawal oleh pasukan proksi Arab.

Iring-iringan mereka diperlambat oleh serangan udara rezim setempat, yang menghentikan upaya menuju kota di bagian selatan Idlib, klaim pemerintah Turki, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (20/8/2019).

Di saat bersamaan, wilayah di selatan Idlib masih dihantui oleh pertempuran antara kelompok-kelompok anti-Assad dan pasukan yang berperang atas nama pemimpin Suriah.

Ankara mengecam serangan udara itu, dan mengklaim konvoinya sedang melakukan perjalanan menuju pos-pos yang sudah didirikan di wilayah tersebut berdasarkan perjanjian dengan Rusia.

Turki mengklaim serangan udara itu mengenai konvoinya, menewaskan tiga warga sipil. Namun, seorang pemantau perang mengatakan serangan udara Rusia merenggut nyawa tiga pemberontak di daerah sekitarnya.

Intervensi tersebut datang pada saat terpenting dalam mempertahankan Idlib --sudut terakhir Suriah tanpa kehadiran rezim-- dan dipandang sebagai langkah untuk menguatkan oposisi bersenjata yang layu, serta tempat berlindung bagi populasi lebih dari 3 juta orang yang terkepung.

Namun, para pejabat Suriah mengklaim konvoi Turki itu mengangkut amunisi dan pasokan ke kelompok-kelompok pemberontak bersenjata.

 

 

2 dari 3 halaman

Masih Banyak Kelompok Oposisi Memegang Idlib

Hingga beberapa pekan terakhir, serangan koalisi pimpinan Rusia terhadap Idlib --yang diluncurkan sejak akhir April-- hanya membuat sedikit kemajuan.

Masih banyak kelompok oposisi, di antara mereka faksi-faksi jihad, memegang tanah di selatan provinsi itu meskipun diserang tanpa henti dari langit.

Namun, momentum telah bergeser dalam sepekan terakhir, dengan pasukan darat rezim yang berkuasa dan jet Rusia meningkatkan operasi pengeboman, yang telah melenyapkan kota-kota dan desa-desa di bawahnya.

PBB memperkirakan bahwa hingga 400.000 orang baru saja mengungsi ke wilayah dalam Idlib. Banyak dari mereka kembali terpaksa tidur di tempat terbuka tanpa tempat berlidung, dan memiliki sangat sedikit akses ke perawatan medis.

Rumah sakit dan klinik kesehatan menjadi sasaran serangan udara secara sistematis, di mana hal tersebut sangat membatasi akses ke bantuan yang menopang kehidupan.

Setidaknya 881 warga sipil dan lebih dari 2.000 anggota militan telah tewas di pihak pemberontak dalam empat bulan terakhir, sementara setidaknya 1.400 pasukan pro-Assad juga diperkirakan telah terbunuh.

"Dengan menggunakan serangan udara dan artileri, rezim maju dengan meratakan semua yang ada di depannya," kata James Le Mesurier, pendiri Mayday Rescue, yang mengelola organisasi pertahanan sipil White Helmets.

3 dari 3 halaman

Benteng Terakhir Melawan Diktator Suriah

Idlib telah menjadi benteng terakhir dari mereka yang bangkit melawan diktator Suriah selama pemberontakan Arab 2011.

Ketika banyak kota dan pedesaan Suriah dilumpuhkan, dan rezim berkuasa --yang sangat didukung oleh Iran dan Rusia-- memicu masalah baru, yakni banyak populasi sipil dari seluruh negeri pindah ke Idlib yang berada perbatasan barat laut.

Di antara mereka adalah sejumlah besar ekstrimis yang mendirikan pijakan di Idlib pada pertengahan 2012, yang akhirnya memaksa pengungsi sipil untuk hidup berdampingan.

Memenangkan kembali Idlib telah menjadi tujuan utama pemimpin Suriah dan Rusia --dan pada tingkat lebih rendah adalah Iran-- yang telah secara ekstensif membentuk pasukan dan proksi di tempat lain dalam perang terkait.

Kedua belah pihak telah menyelamatkan pemerintah pusat dari kekalahan di medan perang.