Liputan6.com, Cox Bazar - Banyak pengamat memprediksi rencana untuk mulai memulangkan ribuan Muslim Rohingya --yang melarikan diri dari pembersihan etnis di negara bagian Rahkine pada 2017-- akan kembali gagal, dikarenakan para pengungsi menolak untuk kembali ke Myanmar secara sukarela.
Lebih dari 3.000 etnis Rohingya ditempatkan pada daftar pengungsi yang disetujui untuk dipulangkan, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Kamis (22/8/2019).
Kebijakan tersebut adalah upaya baru oleh pemerintah Bangladesh dan Myanmar, terkait repatriasi lebih dari satu juta pengungsi yang tinggal di kamp Squalid di Cox's Bazar.
Advertisement
Baca Juga
Komisaris bantuan dan repatriasi pengungsi Bangladesh, Abul Kalam, mengatakan pada hari Rabu, bahwa transportasi dan bantuan logistik telah disiapkan untuk setiap pengungsi Rohingya yang ingin menyeberangi perbatasan pada 22 Agustus, tanggal resmi dimulainya pemulangan terkait.
"Hari ini, 214 keluarga Rohingya diwawancarai dalam proses survei ketertarikan," kata Kalam.
"Kami sedang mengunggah data yang dikumpulkan dari keluarga-keluarga itu, namun kami belum bisa mengungkapkan daftar final yang akan dipulangkan ke Myanmar pekan ini," lanjutnya menjelaskan.
Namun, seorang pejabat bantuan pengungsi Bangladesh yang hadir selama survei tersebut, yang dipimpin oleh UNHCR, mengatakan mereka tidak menemukan satu pun keluarga Rohingyayang mau kembali ke Myanmar pada hari Kamis.
"Hampir semua 214 keluarga yang kami wawancarai hari ini mengatakan mereka tidak akan kembali sampai tuntutan utama mereka dipenuhi. Menurut mereka, Rakhine masih menunjukkan permusuhan dan tidak aman bagi kehidupan etnis Muslim Rohingya," lanjut pejabat itu, meminta syarat anonim.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Pengungsi Tetap Takut Kembali
Lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh, setelah tindakan keras pimpinan militer di negara bagian Rahkine, di mana desa-desa dihancurkan, perempuan diperkosa dan ribuan orang terbunuh.
Sebuah misi pencari fakta PBB menyatakan bahwa kekerasan tersebut memiliki "niat genosidal".
Sementara repatriasi akan dimulai besok, Louise Donovan, juru bicara UNHCR di Cox's Bazar, mengatakan para pejabat lembaganya masih melakukan "survei keinginan" pada daftar 3.450 orang yang disetujui untuk kembali.
"Kami saat ini tidak mengomentari proses survei tersebut, karena masih berlangsung," katanya.
Namun, dengan kondisi di negara bagian Rahkine yang masih bergejolak, dan penolakan Myanmar untuk menjamin kewarganegaraan bagi Rohingya, membuat banyak pengungsi tetap terlalu takut untuk kembali.
"Kami ingin jaminan kewarganegaraan terlebih dahulu, dan mereka (pemerintah Myanmar) harus memanggil kami Rohingya, lalu kami bisa pergi," kata Ruhul Amin, yang berbicara untuk keluarga beranggota sembilan orang.
Advertisement
Diperkirakan Jadi Upaya Gagal Kedua
Para pengamat memperkirakan kebijakan terbaru itu akan menjadi upaya gagal kedua untuk memulai repatriasi Rohingya.
Rencana serupa pada November lalu gagal ketika tidak ada pengungsi yang terdaftar setuju kembali secara sukarela.
Pada hari-hari sebelumnya, kepanikan mencengkeram kamp-kamp pengungsi Rohingnya, di mana banyak dari mereka melarikan diri ke hutan karena takut dipaksa kembali.
Pasukan militer tambahan bahkan dibawa masuk yang membatasi pergerakan pengungsi di kamp-kamp tersebut.
Sementara kali ini suasananya digambarkan "jauh lebih tenang" oleh Kalam, di mana UNHCR mengklaim telah melakukan kroscek daftar peserta program repatriasi secara lancar.
Namun, UNHCR telah dilarang mengunjungi negara bagian Rahkine oleh pemerintah Myanmar, sehingga tidak dapat memverifikasi lokasi di mana pengungsi Rohingya akan dikembalikan.
Muncul kekhawatiran bahwa para pengungsi hanya akan ditempatkan di kamp transit terbaru, yang telah digambarkan sebagai "penjara terbuka", karena desa-desa Rohingya --yang hampir semuanya dibakar selama kekerasan-- belum dibangun kembali.