Sukses

Rusia dan China Desak Pertemuan Dewan Keamanan PBB Terkait Uji Coba Rudal AS

Pemerintah Rusia dan China mendesak pertemuan darurat DK PBB untuk membahas uji coba rudal Amerika Serikat.

Liputan6.com, Moskow - Rusia dan China telah meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bertemu pada Kamis, guna membahas tentang "pernyataan pejabat Amerika Serikat (AS) untuk mengembangkan dan menggunakan rudal jarak menengah".

Kedua negara ingin mempertemukan 15 anggota dewan terkait dengan agenda membahas "ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional", demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (22/8/2019).

Moskow dan Beijing juga telah meminta kepala urusan pelucutan senjata PBB, Izumi Nakamitsu, memberi pengarahan kepada DK PBB dalam upaya mendesak Washington mempertimbangkan kembali rencana pengembangan misilnya.

Sebelumnya pada hari Senin, Kementerian Pertahanan AS mengumumkan bahwa mereka telah menguji coba rudal jelajah yang dikonfigurasikan secara konvensional, dan diklaim mencapai target lebih dari 500 kilometer penerbangan.

Tes semacam itu merupakan yang pertama kali dilakukan AS sejak keluar dari Traktat Perlucutan Rudal Jarak Pendek hingga Menengah (INF) era Perang Dingin.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada hari Rabu, bahwa AS berada dalam posisi untuk mengerahkan rudal jelajah darat baru di Rumania dan Polandia. Sebuah skenario yang dinilainya sebagai ancaman yang perlu ditanggapi Moskow.

Di lain pihak, Amerika Serikat mengatakan tidak memiliki rencana untuk meluncurkan rudal darat baru di Eropa.

Uji coba AS pada pekan ini sejatinya dilarang di bawah INF, yang melarang rudal berbasis darat dengan jarak antara 310 dan 3.400 mil (setara 498 hingga 5.471 kilometer), mengurangi kemampuan Washington dan Moskow untuk meluncurkan serangan nuklir dalam waktu singkat.

Adapun China bukanlah pihak dalam perjanjian INF, namun memliki simpanan besar rudal jarak menengah berbasis darat.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Tanggapan Amerika Serikat

Menteri Pertahanan AS Mark Esper ditanya dalam wawancara dengan Fox News pada hari Rabu, apakah tes tersebut bertujuan mengirim pesan ke China, Rusia atau Korea Utara.

Tidak disebutkan pasti jawabannya, namun menurut pengamat, apa yang diutarakan Esper mengindikasikan kekhawatiran utama terhadap China.

"Kami ingin memastikan bahwa kami, sebagaimana diperlukan, dapat mencegah perilaku buruk China dengan kemampuan sendiri untuk dapat menyerang pada jarak menengah," katanya.

Esper mengatakan pada kunjungannya ke Australia bulan ini, bahwa ia mendukung penempatan rudal jarak menengah yang diluncurkan di Asia dalam waktu relatif cepat.

Esper juga ditanya tentang kecelakaan uji roket di Rusia bulan ini, yang menurut para pejabat AS dikaitkan dengan program rudal jelajah hipersonik Kremlin.

"Jelas mereka berusaha memperluas persenjataan nuklir strategisnya untuk berurusan dengan Amerika Serikat," kata Esper, seraya menambahkan bahwa semua senjata baru semacam itu harus dimasukkan dalam perjanjian pengurangan senjata strategis di masa depan.

"Saat ini Rusia kemungkinan memiliki ujung nuklir ... rudal jelajah INF-menghadap ke Eropa, dan itu bukan hal yang baik," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Dikhawatirkan Membawa Dampak Negatif

Washington secara resmi menarik diri dari pakta 1987 dengan Rusia pada 2 Agustus lalu, setelah menetapkan bahwa Moskow melanggar perjanjian itu, sebuah tuduhan yang dibantah Kremlin.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan pada hari Selasa, bahwa tes AS menunjukkan Washington memicu perlombaan dan konfrontasi senjata baru, yang akan memiliki dampak negatif pada keamanan regional dan global.

Sementara itu, seorang juru bicara Korea Utara mengatakan pada hari Kamis, bahwa uji coba AS serta rencana mengerahkan jet F-35 dan peralatan militer ofensif di sekitar semenanjung Korea, adalah gerakan "berbahaya" yang akan "memicu Perang Dingin baru" di wilayah tersebut.

Di lain pihak, Pentagon telah mengumumkan secara efektif pada hari Kamis pihaknya menarik pendanaan proyek miliaran dolar --yang secara teknis bermasalah-- untuk membangun sistem senjata lebih baik dalam menangkal masuknya rudal.

Pentagon telah menghabiskan hampir US$ 1,2 miliar untuk proyek tersebut ketika Michael Griffin, wakil menteri pertahanan untuk penelitian dan teknik, memutuskan untuk mengakhirinya pekan lalu.

Pada bulan Mei, ia memerintahkan Boeing untuk menghentikan pekerjaannya, sambil menunggu keputusan tentang rencana lanjutan.

"Mengakhiri program adalah hal yang harus dilakukan," kata Griffin dalam sebuah pernyataan, Rabu 21 Agustus.