Liputan6.com, Idlib - Pasukan pemerintah Suriah telah melakukan kebijakan militer terbaru di bawah arahan Presiden Bashar al-Assad, untuk merebut kembali "setiap inci" dari negara tersebut.
Menurut para pengamat, hal itu meningkatkan kekhawatiran bencana kemanusiaan di provinsi Idlib utara.
Dua pekan lalu, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (26/8/2019), pasukan oposisi terpaksa mundur dari kota Khan Shueikhoun, karena mengalami tekanan kuat dari kekuatan Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran.
Advertisement
Baca Juga
Tekanan itu telah merusak gencatan senjata yang disepakati untuk melindungi kantong terakhir wilayah pemberontak.
Ketika perang saudara berdarah di Suriah memasuki tahun kesembilan, Assad secara luas diakui telah muncul dengan penuh kemenangan.
Namun, pertempuran masih jauh dari selesai, dengan ketentuan kemenangan dan bentuk masa depan Suriah masih sangat banyak bermain di medan perang.
Kelompok-kelompok bersenjata sebagian besar membentuk kekuatan di utara, termasuk pasukan ekstremis di provinsi Idlib.
Di luar itu, kelompok pemberontak Kurdi yang didukung Amerika Serikat (AS) terlibat konflik proksi dengan Turki yang bertetangga, karena dinilai sebagai akar terorisme di Negeri Ataturk itu.
Terperangkap di tengah pertempuran, adalah warga sipil yang putus asa, di mana jumlahnya berkisar sekitar tiga juta orang. Mereka semua terperangkap di provinsi Idlib yang dikuasai oposisi Suriah.
Wilayah ini sebagian besar dikendalikan oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mantan afiliasi Al-Qaeda yang mendominasi kendali oposisi, setelah pertikaian dan perpecahan menghancurkan kelompok-kelompok yang lebih moderat.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Berasal dari Berbagai Latar Berbeda
Orang-orang sipil yang berkumpul di Idlib berasal dari latar belakang yang jauh lebih luas.
Banyak dari mereka adalah pendukung oposisi yang berpindah beberapa kali dari daerah-daerah konflik, yang sejak itu jatuh ke Assad, termasuk Aleppo dan daerah pinggiran Damaskus di Ghouta.
Banyak daerah tersebut jatuh di bawah kendali HTS tanpa secara aktif mendukung mereka.
Krisis terakhir dimulai April lalu, ketika serangan pemerintah Suriah merobek gencatan senjata yang disepakati tahun lalu antara Turki, Iran dan Rusia.
Tadinya, kesepakatan itu telah menciptakan zona penyangga antara kantong terakhir yang tersisa dari wilayah yang dikuasai pemberontak dan pasukan Assad.
Skala dan intensitas pemboman yang terjadi kemudian, termasuk serangan terhadap fasilitas kesehatan dan sekolah, membuat PBB meluncurkan penyelidikan.
Investigasi ini akan menyelidiki penargetan pemerintah atas fasilitas yang didukung PBB dan situs-situs sipil dilindungi, yang ada dalam daftar yang diberikan kepada pihak berwenang Suriah.
Assad mengklaim bahwa pasukannya menyerang hanya karena Turki tidak berpegang teguh pada komitmennya untuk mengusir ekstrimis dari daerah itu. Klaim tersebut dibantah keras oleh Turki.
Advertisement
Sipil Menghadapi Kondisi Putus Asa
Badan-badan bantuan mengatakan warga sipil Suriah yang melarikan diri dari meningkatnya aktivitas militer, menghadapi kondisi putus asa di kamp-kamp pengungsi darurat tanpa air atau sanitasi, dan mengalami kekurangan makanan.
Namun, dengan perbatasan Turki di utara disegel, mereka tidak punya tempat lain untuk berlari.
Sementara itu, otoritas Suriah telah membuka "koridor kemanusiaan" untuk membuka jalan bagi sipil, mengungsi ke daerah yang dikontrol pemerintah.
Beberapa dari mereka yang terperangkap melihatnya sebagai rute pelarian yang aman.
Namun, orang-orang yang kembali dengan keterkaitan terhadap oposisi, berisiko menghadapi penahanan, wajib militer, atau sanksi lebih buruk ketika tiba di beberapa bagian negara yang diperintah oleh pasukan Assad.
Khan Sheikhoun menjadi sasaran Assad karena memberikan pasukannya kendali atas sebagian jalan raya utama, yang menghubungkan kota Homs dengan ibu kota perdagangan Suriah yang hancur, Aleppo, dan mengubah rute pasokan oposisi.
Itulah mengapa militer pemerintah Suriah terus merangsek ke kota terkait sejak beberapa pekan lalu.