Sukses

Siapa Sangka, Profesi Algojo Diwariskan Turun Temurun pada Abad Pertengahan

Sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar mau menjadi eksekutor hukuman mati. Banyak dari algojo menerima pekerjaan itu karena "diberi". Ini penjelasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah profesi bernama algojo telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Mei 1573, seorang pria yang masih remaja bernama Frantz Schmidt (19) siap berlatih menjadi pengeksekusi: ia hendak memenggal seekor anjing liar dengan pedang. Ia baru saja sukses memenggal labu.

Jika ia berhasil memenggal hewan hidup, Schmidt dianggap siap memulai profesinya: pengeksekusi manusia, seperti dikutip dari Live Science, selasa (27/8/2019). 

Namun rupanya, para algojo mendapatkan profesinya dengan cara unik kala itu. Sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar mau menjadi eksekutor mati manusia; baik menggantung, memancung, atau membakar para penjahat yang melanggar hukum pidana. Banyak dari algojo menerima pekerjaan itu karena "diberi".

Dalam sebagian kasus, para penjahat ditawari menjadi algojo, sebagai pilihan lain dari kematian mereka sendiri: antara menjalani hukuman mati karena melanggar hukum, atau memilih menjadi eksekutor bagi orang lain.

Namun dalam kasus yang lain, para algojo mendapat profesi itu karena keturunan. Para lelaki yang datang dari keluarga eksekutor, mendapat pekerjaan ini melalui ikatan darah: ayah mereka adalah algojo sebelumnya.

Pemuda bernama Frantz Schmidt itu mendapat profesinya karena keluarga. Namun ayahnya sebenarnya tidak mau saat ditahbiskan sebagai algojo oleh kerajaan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Dinasti Algojo yang Dipandang Rendah

Seiring berjalannya waktu, terbentuklah "Dinasti Algojo" yang menyebar ke seluruh Eropa selama Abad Pertengahan. 

Namun keberadaan dinasti-dinasti tersebut juga mengungkapkan buruknya citra eksekutor pada saat itu. Orang-orang terjebak dalam siklus pekerjaan turun-temurun ini karena, pada kenyataannya, mereka memiliki sedikit peluang lain untuk bekerja.

Ada risiko yang harus diterima oleh para eksekutor. Algojo biasanya dikucilkan ke pinggiran masyarakat - dan bahkan dipaksa untuk benar-benar tinggal di pinggir kota . 

"Orang-orang tidak akan mengundang algojo ke rumah mereka. Banyak algojo tidak diizinkan pergi ke gereja," kata Harrington seorang sejarawan di Universitas Vanderbilt di Tennessee. "Beberapa sekolah bahkan tidak akan mengambil anak-anak algojo." 

Keterasingan sosial ini berarti, algojo dibiarkan hidup berdampingan dengan orang lain yang terpaksa menduduki strata sosial bawah dalam masyarakat. Mereka yang sering "tidak diinginkan" seperti pelacur, pemilik penyakit kusta dan penjahat.

3 dari 3 halaman

Tetap Dibutuhkan

Bagaimanapun, algojo tetap penting untuk menjaga hukum dan ketertiban. Meski dijauhi karena pekerjaan buruk mereka.

"Sikap terhadap algojo profesional sangat ambigu. Mereka dianggap diperlukan dan tidak pada saat yang sama," kata Hannele Klemettilä-McHale, seorang profesor sejarah budaya di Universitas Turku di Finlandia yang telah mempelajari representasi para algojo . 

Namun, ada beberapa fasilitas profesional untuk pekerjaan mengerikan ini. Para algojo mendapat manfaat dari sesuatu yang disebut "havage ," semacam pajak yang memberi mereka hak untuk mengambil sebagian makanan dan minuman dari pedagang pasar secara gratis, kata Klemettilä-McHale.

Terlebih lagi, "pihak berwenang biasanya memberi (algojo) penginapan gratis dan membebaskannya dari tol dan pajak," katanya kepada Live Science. Tunjangan kecil ini dimaksudkan untuk mengkompensasi isolasi sosial algojo - dan untuk memaksa mereka tetap berada di pekerjaan.