Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo, pada Senin 26 Agustus mengumumkan lokasi yang akan menggantikan Jakarta sebagai ibu kota baru Indonesia.
"Pemerintah telah melakukan kajian-kajian negara lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur," kata Jokowi di Istana.
Advertisement
Baca Juga
Pertimbangan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan merupakan rencana lama yang telah diwacanakan sejak era Presiden Sukarno. Namun, baru pada era presidensi Jokowi rencana itu mulai terealisasi.
Pemerintah berargumen bahwa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan akan mengurangi berbagai masalah yang membebani Djayakarta, seperti: konsumsi sumber daya alam (terutama air), populasi penduduk, demografi, kemacetan, hingga polusi.
Pemindahan juga ditujukan untuk merangsang pembangunan infrastruktur dan ekonomi di lokasi ibu kota baru hingga mengurangi kesenjangan pertumbuhan antara Kalimantan dengan Pulau Jawa.
Kendati demikian, rencana pemindahan ibu kota meninggalkan jejak pro-kontra di antara analis dan publik. Sebagian mendukung. Yang lainnya tidak.
Kelompok kontra menilai bahwa pemindahan ibu kota sejatinya bukan langkah yang efisien dalam mengatasi persoalan-persoalan di atas.
Simak video pilihan berikut:
Argumentasi Pengentasan Permasalahan Lingkungan
Bagi yang mendukung, langkah untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan adalah langkah yang tepat, bahkan, patut dicontoh oleh negara-negara di Asia yang beri-ibukota-kan kota metropolis --nilai james Crabtree, profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore.
Crabtree mendasari argumentasinya dari sisi urgensi untuk mengentas permasalahan lingkungan, atau secara luas, perubahan iklim yang bisa berdampak pada Asia, termasuk Indonesia. Ia juga melakukan komparasi dari cara yang dilakukan Indonesia dan Singapura pada persoalan serupa.
"Perlawanan terhadap perubahan iklim bisa dimenangkan di Asia. Namun, di Asia pula-lah kita bisa kalah," Crabtree membuka argumentasinya, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review, Selasa (27/8/2019).
"Dari Singapura dan Indonesia kita bisa belajar bagaimana kedua belah pihak memiliki rencana yang kontras berbeda guna mengatasi persoalan yang sama, terutama pada sub-isu kenaikan permukaan air laut sebagai ciri perubahan iklim," jelasnya.
Pada 18 Agustus, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengumumkan serangkaian proyek infrastruktur baru yang mahal untuk melindungi negara-kotanya.
Dengan biaya lebih dari 100 miliar dolar Singapura (US$ 72 miliar), selama seabad berikutnya, Singapura berencana menahan kenaikan permukaan air laut yang mengancam mereka dengan membangun segalanya; mulai dari tembok laut raksasa hingga "polder" gaya Belanda, atau tanah reklamasi yang ditanggul.
Jakarta, kata Crabtree, juga menghadapi persoalan serupa, namun mengatasinya dengan cara yang berbeda.
"Singapura dan Indonesia mewakili dua strategi adaptasi yang sangat berbeda. Yang pertama berencana untuk menggelontarkan uang sebesar nominal berapa pun. Namun, Indonesia maupun negara berkembang lainnya tidak akan mampu mengikuti cara Singapura," nilainya.
Oleh karena itu, model Indonesia yang merencanakan memindahkan ibu kota --dengan harapan mengurangi populasinya di kota terpadat dari pantai, serta memitigasi dampak perubahan iklim-- bisa dibilang lebih penting bagi masa depan Asia.
Prediksi ilmiah tentang perubahan permukaan laut sama-sama tidak tepat dan menakutkan. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB yang ditugaskan untuk mengkaji skenario perubahan iklim mengatakan, lautan mungkin akan naik sekitar setengah meter abad ini.
Tapi itu pandangan yang hati-hati. Banyak ahli lain khawatir pemanasan laut dan pencairan es akan membawa hasil yang jauh lebih buruk.
Para ilmuwan menyarankan pemanasan global --salah satu faktor perubahan iklim-- harus dijaga jauh di bawah 2 derajat Celcius, atau bahkan di bawah target ideal di bawah 1,5 derajat Celcius.
"Saat ini dunia tidak dekat untuk mencapai target ini. Teknokrat Singapura jelas sedang bersiap-siap untuk yang terburuk, karenanya mengapa terminal terbaru bandara Changi akan dibangun 5,5 meter di atas permukaan laut," kata profesor untuk National University of Singapore itu.
Apa pun level yang dicapai lautan, Asia akan menanggung beban terbesar, mengingat banyak negara dengan garis pantainya yang penuh dengan kota-kota besar yang rentan.
"Masa depan India sangat berbahaya, dengan Calcutta, Chennai, dan Mumbai berisiko. Sejumlah orang lain di sekitar wilayah ini menghadapi masalah serius, dari Bangkok dan Dhaka ke Karachi dan Manila," jelas Crabtree.
Rencana Singapura menunjukkan satu cara untuk mengatasi, yakni denegan menggelontarkan uang. Pemerintahnya memiliki berbagai macam opsi keuangan, dari menerbitkan obligasi iklim hingga cadangan nasionalnya yang besar dan kuat.
Tapi, banyak kota tak semaju Singapura juga memiliki rencana 'bergaya Singapura' yang ambisius, setidaknya di atas kertas. Mumbai, misalnya, ingin membangun serangkaian tembok laut yang mahal.
Di tempat lain ada banyak langkah bijak yang bisa diambil. Para pemimpin politik dapat meningkatkan kesadaran akan ancaman yang akan datang. Sejumlah besar konstruksi baru diperlukan, baik untuk melindungi daerah perkotaan secara fisik dan untuk meningkatkan daerah seperti pembuangan limbah dan drainase alami.
"Sayangnya probabilitas bahwa semua langkah ini akan diambil pada waktunya juga tipis. Secara teori, pengeluaran untuk infrastruktur baru dan energi terbarukan bisa menjadi keuntungan bagi negara-negara berkembang," jelas Crabtree.
"Tetapi bahkan jika orang-orang seperti Indonesia dan India dapat menemukan uang (untuk membuat rencana seperti Singapura), pemerintah mereka masih kekurangan kapasitas yang diperlukan untuk beradaptasi dengan sukses. Dalam hal ini krisis perubahan iklim akan mengungkapkan kegagalan tata kelola yang mendalam di negara-negara tersebut."
"Kota seperti Jakarta terlalu sulit untuk direformasi. Oleh karenanya, adalah langkah benar bahwa itu harus dipindahkan," jelas Crabtree.
Kesimpulan senada juga diungkap oleh John Englander, presiden International Sea Level Institute dalam kolom opini untuk The Washington Post.
"Alih-alih menghabiskan ratusan juta dolar untuk upaya sia-sia melindungi Jakarta dari selusin sungai yang melewatinya, atau memperluas dinding rapuh yang tidak pernah direkayasa untuk mengatasi ancaman (kenaikan permukaan laut) saat ini, pemerintah mereka sekarang akan mulai berinvestasi di ibu kota baru yang memiliki masa depan yang berkelanjutan," kata Englander.
"Keputusan Indonesia adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh semua kota di pesisir, yang saya sebut 'adaptasi cerdas'," nilainya.
"Soal Jakarta, solusinya adalah memindahkan ibu kota. Meski keputusan dramatis itu tidak akan dengan cepat menyelesaikan tantangan bagi lebih dari 10 juta penduduknya. Namun mereka mulai mengakui kenyataan baru, memungkinkan mereka untuk benar-benar berinvestasi di masa depan. Sudah waktunya bagi semua komunitas pesisir untuk merencanakan masa depan."
"Laut sedang naik. Kita harus bangkit dengan ombak," tutup Englander.
Advertisement
Argumentasi Kontra
Di sisi lain, analis yang kontra terhadap rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke pulau Kalimantan menilai bahwa langkah tersebut tidak efisien dan bertendensi "bak mendirikan sebuah monumen kesombongan nasional", kata Daniel Moss, kolumnis untuk media ekonomi ternama AS, Bloomberg.
"Membangun ibu kota yang efisien dan membangun monumen untuk kesombongan nasional adalah dua hal berbeda," kritik Moss seperti dikutip dari Bloomberg.
Pemindahan ibu kota, jelas Moss, "bukan sekadar persoalan memiliki gedung tertinggi atau berbagai hal-hal superlatif lainnya ... hanya demi argumentasi kebangsaan."
"Para perencana juga harus fokus pada apa yang dibutuhkan kota untuk bekerja dan berjalan lancar tanpa hambatan; seperti komunikasi, jaringan transportasi, operasional yang keberlanjutan, dan kemudahan berbisnis."
Moss mengatakan bahwa Indonesia harusnya mencontoh langkah negara yang memindahkan ibu kota dari "satu kota ke kota lain yang berdekatan ... atau pusat pemerintahan dengan pusat ekonomi/bisnis/kebudayaan yang berdekatan", seperti Putra Jaya - Kuala Lumpur di Malaysia; Sejong - Seoul di Korea Selatan; atau Melbourne-Sydney dan Canberra di Australia.
"(karena) Negara-negara lain yang telah menciptakan ibu kota yang jauh dari pusat budaya atau komersial tradisional bernasib kurang baik. Ini merupakan kesalahan besar, menciptakan kelemahan dalam politik dan ekonomi ... seperti Brasil dengan Brasilia-nya, ibu kota yang dirancang oleh Oscar Niemeyer pada tahun 1950-an," nilai Moss.
"Aura ambisi yang memudar dari Brasilia tampaknya melambang dari kesusahan negara Amazon itu baru-baru ini."
"Maka, apakah Jakarta perlu ditinggalkan? Gagasan yang lebih baik bagi pemerintah mungkin adalah untuk berfokus pada infrastruktur dan perencanaan untuk melestarikan megacity tersebut sebagai pusat kekuasaan sambil mencari tempat terdekat yang mungkin berfungsi sebagai sarang administrasi."
"Jika ibu kota akan pindah, seharusnya tidak perlu jauh," tutup Moss.